Rempah menjadi komoditas perdagangan pada abad 15 Masehi, setelah bangsa Eropa tergiur dengan tingginya harga rempah dipasaran dunia dan mulai tergerak untuk mencari wilayah kepulauan penghasil rempah. Mereka kemudian mencapai wilayah nusantara. Dalam usaha mencari rempah-rempah itu, mereka berinteraksi dan berkompetisi dengan berbagai bangsa di dunia dalam suatu jaringan perdagangan global (Kemendikbud, 2022). Rempah yang diperdagangkan secara internasional dan menjadi primadona Bangsa Eropa sampai sekarang adalah Lada (Piper nigrum L.) disebut sebagai raja dalam kelompok rempah (King of Spices), kegunaan yang sangat khas dan tidak digantikan dengan rempah lain (Pranoto, 2011). Lada adalah salah satu komoditas paling awal yang diperdagangkan antara Timur dan Eropa, pada abad pertengahan (International Pepper Community, 2022). Lada termasuk dalam kategori tanaman rempah yang dapat digunakan baik untuk bumbu masakan maupun untuk bahan pembuatan obat-obatan, serta industri medis dan farmasi juga menggunakannya secara luas (Hakim, 2015; IPC, 2022). Lada berasal dari Indonesia dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama lada hitam (Lampung Black Pepper) dan lada putih (Muntok White Pepper) (Yudiyanto, 2013).
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung merupakan salah satu sentra produksi lada putih terbesar di Indonesia. Sejak tiga abad lalu, lada putih asal Bangka Belitung lebih dikenal di dunia dengan branding “Muntok White Pepper”, nama Muntok merujuk pada nama pelabuhan di Kecamatan Muntok yang kini masuk wilayah Kabupaten Bangka Barat, pertama kali lada putih diperdagangkan melalui ekspor dan menjadi kawasan transit perdagangan lada (Sitorus, 2021). Sejarah mencatat bahwa lada putih telah diusahakan di Bangka Belitung sekitar abad ke-16 Masehi dan mulai dikembangkan secara besar-besaran pada abad ke 18 Masehi (Oktaviandi, 2009). Pasang surut perjalanan panjang lada putih Bangka Belitung, mengalami masa kejayaan pada periode tahun 1987 sampai dengan tahun 2002, produksi mencapai sekitar 80-97 persen atau 62.000 ton per tahun dari total produksi lada putih Indonesia. Ekspor lada putih tertinggi terjadi pada tahun 2002 mencapai 31.343 ton atau 70 persen dari total ekspor lada putih nasional yang pada saat itu mencapai angka tertinggi 45.020 ton (IPC, 2018).
Good Agricultural Practices (GAP) Lada
Hingga saat ini, ekspor lada putih Bangka Belitung periode tahun (2013-2018), mengalami penurunan sebesar 50 persen dari ekspor tahun 2013 sebesar 7331 ton dan tahun 2018 sebesar 4719 ton. Sementara ekspor lada putih selama 3 tahun terakhir (2020 – 2022) mengalami penurunan sebesar 22.6%, pada tahun 2021 sebesar 5184.7 ton menjadi 3826 ton pada tahun 2022 (diolah dari data BP3L). Penurunan ekspor lada putih ini, merupakan indikasi dari penurunan produksi lada, disebabkan berbagai faktor antara lain penurunan luas lahan, faktor harga dan komoditas lainnya (timah dan sawit) (Wahyudi, 2010) selain itu, faktor utamanya penurunan produksi juga disebabkan rendahnya produktivitas (Sulaiman et al, 2018; Siswanto et al, 2020). Peningkatan produktivitas dapat dilakukan dengan menggunakan paket teknologi budidaya yang baik, mulai dari bibit, lahan, budidaya dan pasca panen (Daras et al, 2012; Siswanto et al, 2020).
Oleh sebab itu, peningkatan produktivitas sekaligus peningkatan daya saing, nilai tambah dan kemandirian dalam upaya sustainability lada putih muntok, dapat dilakukan antara lain dengan penerapan budidaya lada yang baik atau Good Agricultural Practices (GAP). Adapun tujuan GAP lada adalah:
- Meningkatkan produksi dan produktivitas
- Meningkatkan mutu hasil termasuk keamanan konsumen
- Meningkatkan efisiensi produksi dengan memanfaatkan sumber daya alam semaksimal mungkin
- Memperbaiki/mempertahankan kesuburan lahan dan kelestarian lingkungan
- Memotivasi petani dan kelompok tani untuk memiliki sikap yang bertanggung jawab terhadap kesehatan dan keamanan diri serta lingkungan
- Meningkatkan peluang penerimaan produk lada oleh pasar internasional
- Memberi jaminan keamanan terhadap konsumen
Tujuan GAP lada selaras dengan konsep sustainability yang menitikberatkan pada aspek lingkungan, sosial dan ekonomi dalam kegiatan pra produksi, proses dan pasca panen sehingga lada putih saat ini dan yang akan datang, dapat menjaga eksistensi dan peningkatan daya saing dalam perdagangan global.
Urgensi Penyuluh
Tantangan dari penerapan GAP lada, terletak pada subjek atau pelaku dalam hal ini petani dan keluarganya. Petani sebagai decision maker, mempertimbangkan aspek kejiwaan (psikologi) seperti (motivasi, sikap dan persepsi) sehingga mendorong kesadaran petani akan pentingnya GAP untuk keberlanjutan lada putih. Oleh karena itu, sebagai upaya mendorong dan meningkatkan kesadaran petani akan pentingnya GAP Lada, sekaligus mewujudkan terjadinya perubahan perilaku petani, dapat dilakukan intervensi melalui kegiatan pembelajaran dan pendidikan non formal bagi petani. Upaya tersebut dapat ditempuh dengan pentingnya kegiatan penyuluhan pertanian, hal ini selaras dengan falsafah penyuluh merupakan proses pendidikan non formal yang bertujuan perubahan perilaku petani meliputi pengetahuan, keterampilan dan sikap (Soekandar, 1973 dalam Sinar Tani, 2001) Penyuluhan pertanian dalam UU No 16 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama dan pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Sekaligus diperkuat fungsi dan peran penyuluh berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 43 Tahun 2013, yaitu:
- Memfasilitasi proses pemberdayaan pelaku utama dan pelaku usaha
- Mengupayakan kemudahan akses pelaku utama dan pelaku usaha ke sumber informasi, teknologi, dan sumberdaya lainnya agar mereka dapat mengembangkan usahanya
- Meningkatkan kemampuan kepemimpinan, manajerial, dan kewirausahaan pelaku utama dan pelaku usaha
- Membantu pelaku utama dan pelaku usaha dalam menumbuhkembangkan organisasinya menjadi organisasi ekonomi yang berdaya saing tinggi, produktif, menerapkan tata kelola berusaha yang baik dan berkelanjutan
- Membantu menganalisis dan memecahkan masalah serta merespon peluang dan tantangan yang dihadapi pelaku utama dan pelaku usaha dalam mengelola usaha
- Menumbuhkan kesadaran pelaku utama dan pelaku usaha terhadap kelestarian fungsi lingkungan
- Melembagakan nilai-nilai budaya pembangunan pertanian yang maju dan modern bagi pelaku utama dan pelaku usaha secara berkelanjutan
Penulis: Yudi Sapta Pranoto*
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM
*Mahasiswa Doktoral Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan Universitas Gadjah Mada