Pemerintah berkomitmen untuk mendukung pembangunan yang selaras dengan agenda SDGs. Dalam rilis web resmi pemerintah disebutkan bahwa pemerintah mendukung pelaksanaan SDGs yang bertujuan untuk menyejahterakan masyarakat. Sejalan dengan tujuan SDGs pada aspek infrastruktur, industri dan inovasi, maka sejumlah pembangunan sarana prasarana menjadi salah satu point pembangunan Indonesia. Pembangunan infrastruktur diharapkan akan menunjang aktivitas ekonomi dan sosial sekaligus mendorong peningkatan ekonomi nasional dan pelayanan dasar bagi masyarakat. Pemerintah mengagendakan sejumlah proyek infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk di dalamnya pembangunan Jalan Tol Jogja-Solo (Tol Joglo). Namun demikian, rencana ini tentu akan berbenturan dengan fungsi lahan sebelumnya termasuk yang dimanfaatkan untuk pertanian. Atas nama pembangunan, selain akan memberikan kemanfaatan namun akan menyisakan masalah bagi masyarakat yang terdampak. Pro dan kontra akan mewarnai proses ini. Kesiapan infrastruktur akan membuat masyarakat menikmati pembangunan, tapi harus disadari bahwa alih fungsi lahan dari lahan-lahan produktif pertanian menjadi pembangunan sarana prasarana akan berdampak pada diri petani.
Sumber: Pict 1
Gambaran ini yang juga tertangkap dari pembangunan Tol Jogja-Solo. Secara psikologis ada kondisi dilema yang dialami oleh petani (Utami, 2024). Satu sisi mereka berat jika harus kehilangan lahan pertanian dan berpisah dengan teman-teman sehamparan, sebab bagi sebagian petani lahan pertanian adalah simbol harga diri. Tanah adalah ibarat harta pusaka yang melambangkan harga diri, apalagi jika lahan tersebut merupakan harta warisan, tanah disebut sebagai tanah wutah getih (tumpah darah), sebagai tempat seseorang dilahirkan dianggap memiliki nilai historis tinggi, oleh karenanya terasa berat untuk melepaskan dan dikuasai oleh orang lain sekalipun itu diambil negara. Namun di sisi lain petani juga tidak mengingkari bahwa nilai ganti rugi yang diberikan dari proyek pemerintah ini tinggi. Belum lagi jika lahan di lokasi yang strategis, maka nilai hitungan per meter persegi lahan juga semakin besar.
Sumber: Pict 2
Namun demikian, kita pun tidak bisa menutup mata bahwa pertanian memiliki sejumlah cerita kehidupan petani dan usaha taninya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan bahwa luas lahan pertanian di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami tren yang menurun. Semakin sempitnya lahan pertanian disinyalir semakin banyak lahan yang dialih fungsikan menjadi bangunan atau tempat wirausaha, apalagi tingginya biaya usaha tani, seringkali mendorong petani untuk menjual lahan mereka. Diperparah saat harga jual hasil pertanian semakin turun dan kondisi iklim cuaca yang tidak menentu yang membuat petani lebih rentan terhadap hasil panen yang tidak baik atau bahkan gagal panen.
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Seperti yang disampaikan Popkin (1961) bahwa petani, seperti juga anggota masyarakat yang lain, tentulah juga rasional. Artinya, mereka selalu ingin memperbaiki nasibnya, dengan mencari dan memilih peluang-peluang yang mungkin dapat dilakukannya. ATR/BPN sebagai kepanjangan tangan pemerintah menyebutkan tingginya solasium (nilai ganti untung) karena memperhitungkan aspek psikologis petani. Diterimakannya sejumlah ganti rugi uang dalam rekening para petani sebaiknya perlu diikuti literasi pengelolaan keuangan agar tidak terjebak untuk menghamburkan kebutuhan konsumtif. Perlunya pendampingan untuk tetap menjadikan petani produktif, seperti misalnya damping petani untuk kembali membelikan lahan pertanian atau arahkan dan damping petani mungkin menjadi pengrajin, membuka warung atau keahlian-keahlian UMKM lain yang bisa membuat mereka tetap merasa berguna bagi keluarga dan sekitarnya bahkan mungkin bisa sebagai mata pencaharian pengganti. Semoga petani bisa merasakan sejahtera lahir batin di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini.
Penulis: Bekti Wahyu Utami
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM