Penyuluhan Pertanian di Era Digital
Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) berbasis digital sedikit banyak merubah sistem pertanian. Pengguna mobile connections sudah mencapai 125,6% dari total populasi Indonesia. Penggunaan internet di tingkat petani dan perdesaan juga cukup tinggi 93,9%. Bahkan perilaku petani juga bergeser dari corak agraris menuju corak digital. Petani semakin terkoneksi setiap hari dengan TIK digital. Kehadiran teknologi ini merubah cara berkomunikasi, bekerja, maupun belajar. Kondisi ini menjadi tantangan baru bagi penyuluhan pertanian sebagai instrumen pendidikan non formal.
Disisi lain, pertanian sebagai penggerak perekonomian lokal (13,08 % PDRB) Maluku Utara dan paling banyak menyerap tenaga kerja (28,5%), masih menghadapi berbagai problematika teknis maupun sosial. Perubahan iklim ekstrim masih terus terjadi. Belum lagi masalah kegagalan pasar. Petani masih menjadi pihak yang termaginalkan dalam penentuan harga. Ditambah lagi rantai pasok yang panjang semakin mengurangi efisiensi. Dan juga terbatasnya informasi inovasi mutakhir menyebabkan penerapan teknologi terkini masih rendah. Situasi ini menambah kompleksitas tantangan bagi penyuluh.
Penyelenggaraan penyuluhan menghadapi tantangan kenaikan biaya operasional (bahan bakar minyak/BBM) untuk melakukan kunjungan lapang. Informasi di lapangan, penyuluh merasa tertekan jika harus setiap hari melakukan anjangsana tanpa dibekali amunisi kegiatan/program. Sementara Biaya Operasional penyuluh (BOP) sejak 10 tahun terakhir tidak mengalami kenaikan. Maka kemampuan penyuluh dalam memanfaatkan potensi TIK perlu diberdayakan. Misalnya penyuluh membangun kelompok virtual (WAG), kemudian secara rutin/berkala melakukan dinamika kelompok virtual tersebut, agar terjadi pembelajaran sosial.
Begitu juga jadwal kunjungan bisa digantikan dengan konsultasi berbasis pesan WA, video call, maupun call. Evaluasi penyuluh bisa dilihat dari seberapa efektif mereka melakukan panggilan (effective call). Selain itu, peran penyuluh dalam membangun pengaruh di jejaring media sosial juga perlu direkognisi sebagai bagian pekerjaan penyuluhan. Misalnya, melayani konsultasi melalui WA/media sosial, melakukan promosi hasil pertanian, melakukan fungsi-fungsi fasilitasi dan intermediasi dengan pihak lain.
Pentingnya Penguasaan Literasi Digital
Fenomena tersebut menjadi landasan yang kuat tentang urgensi penguasaan literasi digital. Secara teori, literasi digital didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggunakan TIK secara efektif untuk peningkatan kinerja dan produktivitas pertanian. Literasi digital diyakini sebagai kunci untuk mengatasi berbagai tantangan dan kompleksitas permasalahan petani. Literasi digital akan menghasilkan 2 efek, yaitu information opportunity effect dan technology opportunity effect. Pemberdayaan petani melalui literasi digital akan membantu terwujudnya pembangunan pertanian berkelanjutan.
Apa saja komponen literasi digital dalam penyuluhan pertanian?
Studi tentang literasi digital di bidang pertanian belum banyak dieksplorasi. Melalui penelitian confirmatory factor analysis (CFA) diketahui 5 indikator literasi digital memiliki loading factor yang tinggi.
Pertama, kemampuan untuk menggunakan berbagai perangkat TIK dan aplikasi teknologi, seperti smartphone, komputer, dan perangkat lunak aplikasi pertanian. Kedua, Kemampuan untuk mencari, menilai, dan menggunakan informasi yang tersedia secara online. Termasuk data cuaca, pasar, teknik bertani terbaru, manajemen OPT, dan praktik pertanian lainnya. Ketiga, Kemampuan berkomunikasi dengan sesama petani, expertise, dan stakeholder lainnya melalui platform digital. Keempat, kemampuan memanfaatkan TIK untuk pembelajaran mandiri maupun bimbingan akurat kepada petani. Sebagai pendidik nonformal, kemampuan ini diperlukan agar penyuluh mampu berperan sebagai fasilitator pembangunan yang adaptif dan berpengetahuan luas. Kelima, kemampuan melindungi diri dan petani dari ancaman digital seperti peretasan dan rekayasa sosial.
Peluang dan Tantangan ke Depan
Program literasi digital dalam penyuluhan pertanian memiliki peluang yang baik. Penyuluhan yang didukung TIK diyakini mengurangi biaya diseminasi dan menjangkau lebih banyak kelompok sasaran. Selain itu, penyampaian informasi bisa lebih cepat dan tepat waktu. Dengan mempertimbangkan situasi wilayah kepulauan, literasi digital membantu mengatasi tantangan geografis.
Tidak hanya itu, literasi digital berkaitan erat dengan Sustainable Development Goals (SDGs). SDGs ke-4 menekankan pentingnya pendidikan inklusif berkualitas dan mempromosikan peluang pembelajaran sepanjang hayat (long life learning), terutama bagi civitas pertanian. Lebih lanjut, literasi digital juga menjawab tujuan SDGs 4.4.1 tentang penguasaan keterampilan di era digital. Saat ini semua orang membutuhkan keterampilan digital untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat dan ekonomi yang didorong oleh teknologi.
Tentu saja, adopsi literasi digital dalam pertanian tidak datang tanpa tantangan. Masalah aksesibilitas dan infrastruktur, kurangnya keterampilan teknologi di kalangan petani yang lebih tua, dan risiko penyalahgunaan data adalah beberapa di antaranya. Namun, dengan dukungan yang tepat dari pemerintah, lembaga pendidikan, dan organisasi non-pemerintah, tantangan ini akan dapat diatasi. Sehingga peluang untuk menciptakan pertanian yang lebih berkelanjutan dan berdaya saing di Maluku Utara akan menjadi kenyataan.
Penulis: Chris Sugihono
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM