“Ego sektoral lagi, ego sektoral lagi!”
Jengah ketika selalu mendengar alasan mengapa sebuah program dengan ribuan rapat dan triliunan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ego sektoral selalu dituding sebagai lakon antagonis. Jika keberadaan ego sektoral dibayangkan sebagai sebuah orchestra yang masing-masing musisi memainkan lagu favoritnya di saat yang bersamaan, terdengar berisik, riuh, tak harmonis, tak nikmat, gagal.
Ego sektoral sebagai biang kerok penghambat pembangunan telah disadari sepenuhnya oleh orang nomor satu di Indonesia. Sebut saja, Mantan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Arahan pada awal pemerintahannya, tahun 2015 di dua ruang siding berbeda: Sidang Kabinet dan sidang Tahunan MPR, Presiden terpilih ini sudah memancarkan sinyal anti-ego sektoral. “jangan terjebak ego sektoral, pemerintah harus satu, konsolidasi kementerian/lembaga harus betul-betul selesai”. Masih dengan nada yang sama, “Hilangkan Ego sektoral, apalagi ego kementerian, ego kepala Lembaga”. Pernyataan ini disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara tanggal 9 April 2018. Tujuh tahun sejak pemerintahannya, pernyataan tidak berubah “persoalannya kelihatan, solusinya kelihatan, tetapi tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita”, tegas Jokowi saat pidato dalam acara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit tanggal 9 Juni 2022 di Wakatobi.