• UGM
  • SPs UGM
  • Library
  • IT Center
  • Webmail
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi, Misi dan Tujuan
      • Program Magister
      • Program Doktor
    • Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
      • Tenaga Pendidik Program Magister
      • Tenaga Pendidik Program Doktor
      • Tenaga Kependidikan
    • Fasilitas
    • Laboratorium
    • Penerimaan Mahasiswa Baru
      • Prosedur Pendaftaran
      • Syarat Pendaftaran
      • Biaya Pendidikan
    • Rekognisi Akademis
  • Akademik
    • Program Magister
      • Profil Lulusan Program Magister
      • Capaian Pembelajaran Lulusan
      • Peta Kurikulum
      • Mata Kuliah
      • Modul Pegangan Mata Kuliah
      • Seminar Proposal
      • Ujian Komprehensif
      • Seminar Hasil
      • Ujian Tesis
    • Program Doktor
      • Profil Lulusan
      • Capaian Pembelajaran Lulusan
      • Peta Kurikulum
      • Mata Kuliah
      • Modul Pegangan Mata Kuliah
      • Seminar Proposal
      • Ujian Komprehensif
      • Seminar Hasil
      • Ujian Disertasi
    • Kalender Akademik
    • Panduan Akademik
    • Perpustakaan
    • ELOK (e-Learning: Open for Knowledge Sharing)
    • SIMASTER
  • Penelitian
    • Publikasi
    • Kelompok Penelitian
  • Pengabdian
    • Pengabdian kepada Masyarakat
  • Kemahasiswaan & Alumni
    • Prestasi Mahasiswa
    • Informasi Beasiswa
    • Alumni
    • KAGAMA
    • Lowongan Pekerjaan
    • Tracer Study
  • Kontak
  • Unduh
    • Dokumen Akreditasi S2
    • Dokumen Akreditasi S3
  • Beranda
  • Pascasarjana UGM
  • Pascasarjana UGM
Arsip:

Pascasarjana UGM

Melampaui Ego Sektoral Wujudkan Persatuan dan Kedaulatan Asas Pembangunan Berkelanjutan

BeritaHowdy SDGs! Wednesday, 3 September 2025

“Ego sektoral lagi, ego sektoral lagi!”

Jengah ketika selalu mendengar alasan mengapa sebuah program dengan ribuan rapat dan triliunan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ego sektoral selalu dituding sebagai lakon antagonis. Jika keberadaan ego sektoral dibayangkan sebagai sebuah orchestra yang masing-masing musisi memainkan lagu favoritnya di saat yang bersamaan, terdengar berisik, riuh, tak harmonis, tak nikmat, gagal.

Ego sektoral sebagai biang kerok penghambat pembangunan telah disadari sepenuhnya oleh orang nomor satu di Indonesia. Sebut saja, Mantan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Arahan pada awal pemerintahannya, tahun 2015 di dua ruang siding berbeda: Sidang Kabinet dan sidang Tahunan MPR, Presiden terpilih ini sudah memancarkan sinyal anti-ego sektoral. “jangan terjebak ego sektoral, pemerintah harus satu, konsolidasi kementerian/lembaga harus betul-betul selesai”. Masih dengan nada yang sama, “Hilangkan Ego sektoral, apalagi ego kementerian, ego kepala Lembaga”. Pernyataan ini disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara tanggal 9 April 2018. Tujuh tahun sejak pemerintahannya, pernyataan tidak berubah “persoalannya kelihatan, solusinya kelihatan, tetapi tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita”, tegas Jokowi saat pidato dalam acara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit tanggal 9 Juni 2022 di Wakatobi.

Pejabat negara di bawah Jokowi tentu saja mengamini pernyataan Kepala Negara-nya. Pramono Agung, Sekretaris Kabinet (2015-2024), menyayangkan proses pembangunan Jakarta yang justru menerapkan pendekatan ego sektoral dalam menangani masalah polusi udara. Menurut Pram, panggilan akrabnya, Pemprov Jakarta tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendiri tanpa kolaborasi dengan pusat dan pihak lain. Kritik terhadap ego sektoral juga dilayangkan Yuddy Chrisnandi, Menteri Pan-RB Kabinet Kerja (2014-2016). Tumpang tindih tugas antar instansi melambatkan pelayanan publik adalah akibat eksistensi ego sektoral sebagai faktor penghambat reformasi birokrasi. Dua kasus ini adalah segelintir dari ratusan problematika ego sektoral yang sudah disadari betul oleh aparatur negara. Meski demikian, eksistensi ego sektoral belum juga pudar dari ranah pembangunan di Indonesia.

Perkara ego sektoral juga menjadi diskusi di kalangan akademisi. Dr. Ludji Michael Riwo Kore (Universitas Nusa Cendara Kupang) menyatakan bahwa ego sektoral antar kementerian dan lembaga menjadi penyebab utama lambatnya kebijakan Satu Peta Indonesia (One Map Policy). Pihak-pihak memiliki definisi yang berbeda hingga saling membatalkan rancangan yang telah dibuat. Di lain pihak, Pakar Tata Kota dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Tri Mulyani Sunarhanum, menyatakan bahwa perlu iklim kolaborasi horizontal-dialog dua arah yang bersifat bottom-up dan cross sectoral untuk mengikis ego sektoral antar pemerintah di berbagai tingkat.

Berdasar pada pernyataan para tokoh dan pakar, dapat dipastikan bahwa ego sektoral adalah akar masalah pembangunan di Indonesia. Namun demikian, pada tataran produk akademik, hanya 95 artikel yang muncul di Scopus Indeks dengan kata kunci pencarian “ego sektoral”. Hal ini mengindikasi bahwa kajian topik ini belum banyak dibahas pada tataran internasional. Selain itu, artikel-artikel tersebut cenderung mengungkap kembali bahwa ego sektoral adalah biang masalah pembangunan di Indonesia, belum secara optimal menawarkan solusi untuk mereduksi ego sektoral dengan lebih detail dan implementatif.

Kajian komunikasi pembangunan menyebutkan tiga aktor utama dalam pembangunan yakni, pemerintah, bisnis dan masyarakat. Ketiga aktor ini diharapkan bisa selaras dan sinergi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Mengingat eksistensi ego sektoral, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Bagaimana keberlanjutan pembangunan di Indonesia, jika pada tataran pemerintah saja belum beres perkara ego-egoan ini?”. Selain komunikasi yang bersifat partisipatif antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat, praktik komunikasi ini idealnya juga dapat diterapkan antar pemerintah itu sendiri, baik antar kementerian/lembaga maupun instansi pusat dan daerah. Penerapan komunikasi partisipatif ini yang kemudian harus dirumuskan modelnya dengan tepat. Penelitian terkait faktor komunikasi apa saja yang mampu mereduksi ego sektoral didorong untuk dilakukan guna tercapainya pembangunan yang lebih baik di masa depan.

Ego sektoral merujuk pada sikap dan praktik yang lebih mementingkan kepentingan instansi sendiri tanpa peduli pada kepentingan bersama. Hal ini bertentangan dengan asas persatuan yang tercantum dalam ideologi bangsa, Pancasila dan UUD 1945. Disebutkan bahwa persatuan pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat adalah motor mewujudkan tujuan nasional. Asas lain yang terganggu adalah kedaulatan. Negara yang seharusnya mampu menentukan arah pembangunan secara mandiri justru terancam karena eksistensi ego sektoral di masing-masing instansi pemerintah. Tentu saja hal ini berdampak signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan di segala sektor. Pembangunan menjadi tidak inklusif, tidak efisien, dan rawan meninggalkan kelompok rentan, terutama anak-anak sebagai generasi penerus pembangunan bangsa. Pemerintah harus berani melakukan refleksi dan berbenah untuk secara nyata menciptakan sinergitas, bukan hanya slogan semata seperti selama ini.

 

Penulis: Fibriyani Nur Aliya (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Dari Stigma ke Strategi: Orang Tua, Pesantren, dan Komunikasi Pembangunan Menuju SDGs Pendidikan Berkualitas

BeritaHowdy SDGs! Friday, 29 August 2025

Pesantren masih menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat untuk memondokkan anak mereka belajar ilmu agama. Di tengah gempuran pemberitaan negatif mengenai pesantren di media, ternyata jumlah santri di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tentu ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab, apakah pesantren masih relevan sebagai tempat pendidikan yang berkualitas di Indonesia? Isu kekerasan baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual sering muncul di media massa dan juga media sosial. Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada tahun 2024, sebanyak 36 persen atau 206 kasus kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Dimana 16 persen atau 92 kasus terjadi di madrasah dan 20 persen atau 114 kasus terjadi di pesantren. Jenis kekerasan yang terjadi bervariasi diantaranya kekerasan fisik, perundungan, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif. Tingginya tingkat kekerasan di pesantren ternyata tidak menyurutkan masyarakat untuk memondokkan anak mereka di pesantren (Jannah, 2024). Data dari Education Management Information System (EMIS) Kementerian Agama Republik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah santri di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2023/2024 ke tahun 2024/2025 yaitu sebanyak 5,8 persen atau 512.029 santri. Jumlah santri pada tahun 2023/2024 di Indonesia tercatat sebanyak 8.837.160 santri, sedangkan pada tahun 2024/2025 jumlah santri meningkat menjadi 9.349.189 (Said, 2025).

Peningkatan jumlah santri ini tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk dianalisis dan didiskusikan. Penulis sempat melakukan wawancara dengan orang tua santri yang memondokkan anak mereka di pesantren. Ada beberapa alasan kenapa masyarakat percaya memondokkan anaknya di pesantren. Pertama, pesantren mampu mengajarkan ilmu agama kepada anak mereka. Ilmu agama di pesantren diajarkan lebih mendalam yang tidak didapatkan di sekolah umum. Kedua, pendidikan di pesantren mampu mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Pendidikan di pesantren tidak hanya mendalami ilmu agama saja. Saat ini sudah banyak pesantren yang menjalankan kurikulum dengan mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Integrasi ini sangat bagus karena memadukan antara iman dan taqwa (IMTAQ) dan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK). Tentu ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang keempat (SDGs 4) yaitu pendidikan berkualitas. Ketiga, pendidikan di pesantren mampu mengubah karakter anak menjadi lebih baik. Anak menjadi lebih taat dalam beribadah. Anak juga menjadi lebih disiplin dan mandiri. Perubahan karakter anak menjadi lebih baik ini yang menjadikan pesantren sebagai pilihan orang tua menyekolahkan anak mereka di pesantren. Keempat, pendidikan di pesantren menjadikan anak memiliki banyak teman dan relasi di kemudian hari. Pesantren adalah tempat berkumpulnya seluruh santri dari berbagai daerah yang hendak mendalami ilmu agama. Sehingga pada saat mereka lulus nanti networking terjalin di antara para alumninya. Kelima, ketidakmampuan orang tua mengajarkan ilmu agama dengan baik kepada anak menjadi salah satu alasan memondokkan anak di pesantren. Pesantren dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan ilmu agama yang lebih baik kepada anak. Keenam, adanya tradisi keluarga. Orang tua santri yang pernah mondok memiliki harapan agar anaknya juga bisa meneruskan tradisi tersebut. Orang tua berharap anaknya juga belajar di pesantren seperti orang tuanya.

Lantas bagaimana dengan maraknya pemberitaan dan informasi yang masif di media massa dan media sosial tentang kekerasan yang terjadi pesantren. Bagi orang tua santri informasi tersebut sempat membuat orang tua santri khawatir. Akan tetapi, orang tua santri mencoba mengendalikan disonansi kognitif yang muncul karena informasi tersebut. Pertama, lebih selektif dalam memilih pesantren. Caranya dengan mengunjungi pesantren secara langsung dan mencari tahu informasi tentang pesantren yang akan dijadikan tempat mencari ilmu buah hati. Melalui cara tersebut, kekhawatiran yang awalnya muncul menjadi terkikis dan hilang secara perlahan. Kedua, kekerasan yang terjadi di pesantren adalah kasuistik saja. Tidak semua pesantren terjadi tindakan kekerasan. Selektif dalam memilih pesantren sangat penting. Kekerasan yang terjadi di luar pesantren lebih masif. Bahkan data dari JPPI kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan non pesantren lebih banyak dibandingkan yang terjadi di madrasah dan pesantren. Ketiga, adanya komunikasi positif yang dilakukan oleh pesantren baik itu melalui website maupun media sosial. Keunggulan pengelolaan pesantren, kurikulum pesantren, kepemimpinan kyai, pengasuh, pengajar, dan juga fasilitas yang dimiliki oleh pesantren menjadi pertimbangan orang tua memilih pesantren sebagai tempat menimba ilmu buah hatinya. Keempat, informasi yang diperoleh dari alumni atau teman sejawat yang pernah memondokkan anak di pesantren. Testimoni dari alumni dan juga teman sejawat yang pernah memondokkan anak di pesantren sangat penting dalam pengambilan keputusan orang tua memondokkan anak di pesantren.

Kekhawatiran masyarakat dalam memondokkan anak di pesantren harus segera diatasi. Hal ini sangat penting agar pendidikan yang berlangsung di pesantren harus tetap terjaga dengan baik. Pendidikan di pesantren menjadi salah satu pilar pembangunan keberlanjutan yang tertuang dalam SDGs yang keempat yaitu pendidikan berkualitas. Pendidikan yang berlangsung di pesantren mampu memberikan kontribusi pembangunan di masyarakat. Kontribusi yang diberikan pesantren melalui mutu pendidikan yang baik (Latifah, 2020), pengembangan masyarakat (Malisi & Mohad, 2024), pemberdayaan baik dibidang sosial maupun ekonomi (Sulaiman & Ahmadi, 2020), dan juga pelestarian budaya (Musnandar & Alzitawi, 2024). Pesantren juga mampu memberikan kematangan mental dan emosional kepada santrinya. Hal ini penting karena dalam rangka mempersiapkan generasi muda menuju Indonesia Emas 2045.

Upaya meyakinkan masyarakat agar tidak khawatir memondokkan anak di pesantren harus melibatkan berbagai unsur. Kolaborasi beberapa unsur tersebut sangat penting dalam membangun kredibilitas, citra positif, dan kepercayaan yang lebih baik lagi dari masyarakat kepada pesantren. Unsur yang pertama adalah pemerintah. Pemerintah saat ini memiliki regulasi pengasuhan ramah anak di pesantren dalam rangka mencegah terjadinya kekerasan kepada santri melalui keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia No 1262 Tahun 2024 (Jannah, 2024a). Unsur berikutnya yaitu pesantren dengan memberikan fasilitas, kurikulum, pengajar yang kompeten, dan tata kelola yang baik. Unsur selanjutnya melalui media. Narasi dan komunikasi positif yang dilakukan pesantren melalui media massa, website, maupun media sosial sangat penting dilakukan. Strategi komunikasi yang baik menjadikan citra positif pesantren tetap terjaga di tengah pemberitaan negatif tentang pesantren. Menampilkan prestasi alumni penting dilakukan dalam rangka membangun trust kepada masyarakat. Selain itu, komunikasi dua arah harus sering dilakukan oleh pesantren sehingga terjadi keseimbangan informasi di masyarakat. Melalui kolaborasi beberapa unsur tersebut, penulis yakin bahwa kekhawatiran masyarakat dalam memondokkan anak di pesantren dapat teratasi. Pembangunan berkelanjutan melalui pendidikan berkualitas di pesantren juga dapat terwujud. Impian bangsa Indonesia memiliki generasi emas bukan lagi hisapan jempol dan dapat terwujud sebelum tahun 2045.

 

Penulis: Teddy Dyatmika (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Lie Catchers: Apakah Semua Orang Pasti Berkata Jujur? (Kajian Deceptive Communication dalam Konteks Komunikasi Interpersonal)

BeritaHowdy SDGs! Tuesday, 12 August 2025

Salah satu permasalahan yang sering dihadapi namun sering tidak disadari yaitu tipu muslihat dalam komunikasi atau sering disebut deceptive communication. Keterampilan ini dapat membantu kita untuk memahami situasi dalam percakapan sehari-hari. Ketika berbicara mengenai deceptive communication, tidak hanya membahas mengenai kebohongan yang gamblang saja. Tentunya kebohongan tetap termasuk di dalamnya, namun mencakup aspek yang lebih luas. Deceptive communication memiliki dampak yang signifikan dalam interaksi interpersonal sehari-hari. Berdasarkan Solbu & Frank (2019) dalam Burgoon (2021) dalam Levine (2022), terdapat beberapa bentuk deception yang dapat kita temui, sebagai berikut:

  1. Berbohong secara terang-terangan (outright lying)
  2. Melebih-lebihkan (exaggeration) atau meremehkan (minimization) suatu hal
  3. Menghilangkan sebagian informasi (omission)
  4. Mengelak atau pernyataan ambigu
  5. Memutarbalikkan fakta (distortion)
  6. Kebohongan dengan tujuan baik (white lies)
  7. Berpura-pura tidak tahu (feigning ignorance)
  8. Mengubah topik pembicaraan

Umumnya, deceptive communication dilakukan karena seseorang memiliki tujuan dan alasan tersendiri. Terkadang seseorang yang menerapkan komunikasi deceptive biasanya tidak melakukannya hanya untuk bersenang-senang atau bercanda saja, namun terdapat motivasi atau intensi yang melatarbelakanginya. Sebab komunikasi deceptive dilakukan secara sadar atau disengaja. Kebanyakan bertujuan untuk melindungi diri sendiri atau orang lain, untuk memperoleh manfaat tertentu, atau karena faktor situasional. Menurut Levine (2019), meskipun tidak ada satu ciri yang pasti untuk mengatakan bahwa seseorang sedang berbohong, setidaknya terdapat beberapa ciri-ciri yang bisa diamati, seperti kontradiksi dalam pernyataan yang disampaikan, kurangnya detail dari informasi yang disampaikan, menambahkan banyak detail informasi yang tidak relevan, menggunakan kata-kata persuasif, terdapat perubahan dalam irama atau intonasi bicara, kontak mata, dan gestur tubuh.

Deceptive communication merupakan bagian dari interaksi dalam komunikasi sehari-hari dengan orang lain. Mayoritas orang tidak sadar telah melakukan hal itu atau mungkin sebenarnya sering mengamati hal yang janggal dari cara bicara orang lain yang meragukan. Dengan memahami bentuk komunikasi deceptive, alasan yang melatarbelakangi, serta ciri-cirinya maka diharapkan dapat menjadi pendengar yang lebih baik dan komunikator yang mampu menyampaikan pesan dan intensi dengan tepat. Selain itu, diharapkan dapat membentuk awareness dengan metode deception dalam percakapan sehari-hari dan mendorong kejujuran dalam proses interaksi kita dengan orang lain. Sebab pada akhirnya, hubungan interpersonal yang baik perlu dibangun atas dasar kepercayaan, dan kepercayaan itu membutuhkan konsistensi, kejujuran, dan ketegasan dalam komunikasi.

 

Penulis: Yayan Restyandi (Mahasiswa Program Magister S2 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Menjadi Insan Transformatif dalam Ekosistem Kopi Indonesia

BeritaHowdy SDGs! Thursday, 10 July 2025

Indonesia kini menjadi pemasok penting 9% produksi kopi di dunia rerata 700 ribu ton per tahun setelah produsen Brasilia dan Vietnam (worldstatistic.net, 2024). Problematika negara-negara produsen kopi terkadang serupa namun juga dapat berbeda dan spesifik. Karakteristik identik dari Sumatra, Jawa hingga Papua mempromosikan tradisi minum kopi, gaya hidup hingga bisnis. Gelombang kopi dalam perspektif SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mentransformasi kompleksitas masyarakat hari ini dari berbagai pemangku kepentingan kopi. Tidak hanya rantai mata pencaharian petani kopi, tetapi juga industri pemroses hingga pemasaran, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja hingga produksi dan konsumsi dituntut untuk ramah lingkungan.

Dinamika masyarakat hari ini semakin kompleks ditengah beragam isu perubahan lingkungan. Bukan hanya lingkungan alam seperti perubahan iklim, melainkan juga interaksi sosial, covid-19, perang, berita palsu, hingga perkembangan berbagai teknologi yang mendorong setiap pemangku kepentingan kopi untuk merespon dan beradaptasi. Pada titik inilah isu peran komunikasi baru menjadi penentu bagaimana seharusnya respon dan adaptasi terhadap lingkungan yang bergerak dinamis itu sebaiknya dilakukan. Bagaimana komunikasi pertanian transformatif dalam ekosistem kopi Indonesia? Nilai-nilai apa yang dibangun untuk menjadi daya dukung menarik dan mendorong perubahan positif.

Komunikasi Sebagai Jantung Sistem Sosial

Seorang sosiolog Jerman terkemuka abad 21 bernama Niklas Lumann mengritik pandangan mengenai pemahaman tentang komunikasi. Fenomena masyarakat kontemporer yang berkembang saat ini akan sulit dijelaskan apalagi dipetakan secara holistik jika hanya bersandar pada pemahaman lama berkomunikasi. Pemaknaan sebagai proses pengiriman pesan, aktor penyampai pesan kepada pihak lain, sampai teknik maupun strategi berkomunikasi saat ini tidak memadai. Dibanding makna transmisi pesan, beliau menyarankan pemaknaan yang berbeda bahwa komunikasi merupakan pemrosesan yang sistemik. Komunikasi adalah proses seleksi atas informasi, ujaran, dan pemahaman. Ketiga elemen ini merupakan integrasi bukan sekedar mencapai kesepahaman tetapi juga membuka kemungkinan pemahaman atas perbedaan dan resiko salah paham, tidak paham hingga konflik yang mendorong perubahan untuk beradaptasi.

Sebagai inti dari sistem sosial (politik, ekonomi, religi, pendidikan, seni, media dan sebagainya) komunikasi tidak hanya mengenai hubungan antar sistem dan bagian-bagiannya yang dipandang harus stabil, atau hubungan seimbang sistem dengan lingkungannya semata. Komunikasi dalam perspektif kekinian dikaitkan dengan sistem referensi diri atau merujuk pada keberlangsungan hidup sistem itu sendiri. Oleh karenanya, basis ekosistem kopi yang dimulai dari sistem pertanian kopi dapat dideteksi melalui prinsip-prinsip tumbuh kembang positif secara terus menerus, diantaranya:

  1. Berkomunikasi dengan nilai unggul dan identitas lokalnya yang telah beradaptasi dan proses pembelajaran sosial dalam jangka panjang
  2. Mengutamakan potensi dan performa sumber daya internal
  3. Mengandalkan kolaborasi sebagai modal dan energi sosialnya
  4. Bersikap terbuka saat dibutuhkan sumber daya eksternal

Ekosistem Kopi Semakin Peka untuk Beradaptasi

Perubahan komunikasi yang terjadi di salah satu pemangku kepentingan dapat mempengaruhi keseluruhan didalam ekosistem kopi yang mempengaruhi juga praktik dan keberlanjutan aspek-aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan alam. Pihak-pihak yang berkepentingan tersebut memiliki peran berjejaring penting yang dalam berjalannya sistem rantai produksi hingga konsumsi kopi.

Pertama, adalah pihak-pihak yang berkepentingan langsung terhadap kelangsungan kopi yaitu komunitas petani kopi yang kerap terdampak langsung bila terdapat lingkungan iklim yang berubah, kompetisi dan standar harga pasar, maupun kondisi di lapangan pertaniannya. Kelompok dan organisasi kopi, penyangrai biji kopi (roaster), penjual ritel kopi (coffeeshop), pelanggan, konsumen, pemerintah dengan peraturannya, organisasi perangkat daerah dengan kebijakannya, eksportir, peneliti hingga akademisi yang mempelajari trend maupun isu keberlanjutannya untuk dipublikasikan. Kedua, adalah para pihak yang memiliki kuasa dan kebijakan serta berbagai permodalan yang mendukung seperti investor, lembaga keuangan, perusahaan kopi bersaham publik, berbagai kelompok usaha kopi bertujuan profit dan para pemilik modal mesin-mesin teknologi inovasi pemroses kopi.

Lingkungan yang berubah berimplikasi pada ekspresi ekosistem kopi para pemangku kepentingan utama yang merespon dan beradaptasi secara terus menerus. Kompleksitas komunikasi pertanian transformatif dipandang dapat menciptakan kepekaan beradaptasi para pemangku kepentingan menghadapi tantangan lingkungan global yang terus berevolusi sepanjang waktu. Bagi suatu sistem pertanian transformatif, khususnya bagi pemangku kopi di tingkat hulu yang tidak lagi selalu dibatasi oleh sekat-sekat wilayah dapat lebih memiliki kemampuan menyederhanakan kompleksitas lingkungannya dan menghidupi dirinya sendiri secara otonom. Di saat yang sama bersifat terbuka jika ada hal-hal dari lingkungan yang dapat bergua bagi pertumbuhan dan perkembangan sistem pertanian kopinya.

 

Penulis: Agustinus Dicky Prastomo (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Komunikasi Reklamasi: Pendekatan Strategis untuk Membangun Ekosistem Pascatambang yang Berkelanjutan

BeritaHowdy SDGs! Monday, 7 July 2025

Kasus dan problematika tata kelola industri pertambangan mineral di Indonesia selalu menjadi isu sentral yang sangat menarik perhatian, tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dalam konteks keberlanjutan lingkungan dan sosial. Sejak lama Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya mineral yang melimpah. Menurut data United States Geological Survey (USGS, 2023), Indonesia memiliki sekitar 42% dari total cadangan nikel global, serta menyumbang hingga 51% dari produksi nikel dunia. Selain itu, Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ketiga secara global dengan kontribusi sekitar 9% terhadap total produksi batubara dunia. Sedangkan di sektor timah, Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen timah terbesar di dunia, dengan hasil produksi mencapai 78.000 ton per tahun, dengan cadangan terukur mencapai 2,8 juta ton atau sekitar 16% dari cadangan global.

Kekayaan komoditas mineral yang dimiliki Indonesia tersebut, dinilai berhasil menyumbang sekitar 6-12% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan sekitar 33% nilai ekspor. Artinya, sektor pertambangan telah memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan pendapatan negara dan menjadi motor penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional, serta menjadi salah satu sumber devisa terbesar bagi Indonesia. Senada dengan pandangan Tui dan Adachi (2021), bahwa besarnya kontribusi sektor pertambangan secara tidak langsung mendorong dinamika sosial ekonomi masyarakat, menciptakan lapangan pekerjaan, serta mendukung pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah.
Namun, di balik manfaat ekonomi yang dihasilkan, aktivitas pertambangan mineral di Indonesia juga menimbulkan berbagai konsekuensi negatif, praktik eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan dengan dalih pemenuhan kebutuhan energi dan mineral, telah menyebabkan terjadinya krisis ekosistem dalam skala yang luas. Bayangkan saja, kawasan hutan dan alam yang semula menghadirkan panorama yang hijau dan subur, kini perlahan berubah menjadi tanah gersang atau bahkan kolam raksasa. Terjadi degradasi lahan, deforestasi, berkurangnya ketersediaan air bersih, serta hilangnya keanekaragaman hayati. Kondisi inilah yang memunculkan kebutuhan untuk segera melakukan pemulihan lingkungan secara serius, terutama setelah aktivitas pertambangan berakhir.

Pertanyaan penting dan mendasar pun muncul, bagaimana memulihkan lahan yang telah rusak? Pada titik inilah reklamasi pascatambang memainkan peran yang sangat vital. Cooke dan Johnson (2002) menilai bahwa reklamasi bukan sekadar menutup lubang bekas tambang atau menanam pohon, melainkan proses yang kompleks dengan tujuan memulihkan, merehabilitasi, atau bahkan meningkatkan fungsi ekologi, sosial, dan ekonomi lahan tersebut untuk pemanfaatan yang berkelanjutan di masa depan.

Meskipun untuk mencapai keberhasilan reklamasi selalu menghadapi hambatan yang kompleks dan tidak mudah, seperti erosi tanah, kontaminasi air, dan gagalnya pertumbuhan vegetasi. Penelitian yang dilakukan Connelly et al., (2006) dan didukung penelitian Owen dan Kemp, (2013), mengungkapkan bahwa hambatan utama keberhasilan reklamasi tidak hanya terletak pada terbatasnya teknologi reklamasi yang digunakan, melainkan juga pada kurangnya komunikasi kolaboratif yang efektif dan munculnya ego sektoral di antara multi-stakeholder (perusahaan tambang, pemerintah, masyarakat lokal, LSM, dan akademisi).

Mengapa harus komunikasi reklamasi berbasis kolaboratif?
Program reklamasi dan pascatambang merupakan proses multidimensi yang melibatkan multi-stakeholder dengan kepentingan, pengaruh, pengetahuan, dan persepsi yang berbeda-beda. Dalam praktiknya, pola komunikasi yang terjalin di antara multi-stakeholder dalam setiap tahapan kegiatan reklamasi seringkali bersifat satu arah, tertutup, dan pasif, sehingga partisipasi masyarakat dan stakeholder lainnya sebatas seremonial, semu, dan tidak substantif. Menurut pandangan Esteves et al., (2012), komunikasi satu arah yang tertutup dapat menimbulkan dampak negatif, seperti lemahnya pengawasan dan pemantauan terhadap seluruh tahapan reklamasi, terjadinya konflik sosial, menguatnya ego sektoral, rendahnya kapasitas dan daya dukung masyarakat lokal, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

Oleh sebab itu, perlu diperkuat dengan komunikasi kolaboratif yang efektif, untuk mengintegrasikan pengetahuan teknis dan kearifan lokal masyarakat, memperkuat desain program reklamasi, membangun kesepahaman dan rasa memiliki, serta memfasilitasi penyelesaian masalah secara bersama-sama, sehingga menjamin terwujudnya keberlanjutan program reklamasi dan kegiatan pascatambang. Dalam konteks pembangunan partisipatif, Chambers (1994) menyarankan adanya forum kolaborasi multi-stakeholder, sebagai wadah dialog yang setara, untuk mendesain dan merencakan program bersama (co-design), menciptakan nilai bersama dan mengembangkan inovasi (co-creation).

Belajar dari Kampoeng Reklamasi Air Jangkang
Salah satu contoh praktik kolaborasi multi-stakeholder dalam program reklamasi adalah proyek Kampoeng Reklamasi Air Jangkang di Bangka Belitung. Proyek reklamasi yang dinilai inovatif ini, dikembangkan oleh PT. Timah Tbk sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan perusahaan pasca aktivitas penambangan timah. Dalam pengelolaannya, Kampoeng Reklamasi menerapkan konsep edu eco-tourism yang mengintegrasikan sektor pertanian, perkebunan, peternakan, agrowisata, wisata air, dan juga pusat penyelamatan satwa. Kegiatan pascatambang yang dikelola di kawasan ini mendapat dukungan dari berbagai stakeholder eksternal, salah satunya adalah komunitas Animal Lover Bangka Belitung (ALOBI). Komunitas ALOBI secara aktif melakukan berbagai kegiatan seperti penyelamatan satwa liar, salah satunya adalah Tarsius Bancanus (Tarsius Bangka) dan mensosialisasikan pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem. Selain ALOBI, terdapat juga dukungan dari instansi pemerintah daerah dan lembaga pendidikan nasional dan internasional, yang berperan dalam pengembangan Kampoeng Reklamasi menjadi kawasan ekowisata yang berkelanjutan.

Di balik keberhasilan pengembangan Kampoeng Reklamasi Air Jangkang, masih terdapat tantangan yang menghambat keberlanjutan Kampoeng Reklamasi jangka panjang, salah satunya ialah kurangnya program pengembangan kapasitas masyarakat lokal di sekitar kawasan Kampoeng Reklamasi, sehingga potensi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan kawasan tersebut belum optimal. Menurut pandangan Perkins dan Zimmerman, (1995), keterbatasan pengetahuan, keterampilan, dan kurangnya akses terhadap pelatihan, membuat masyarakat belum mampu mengelola peluang ekonomi maupun menjaga ekosistem lingkungan secara mandiri.

Melalui komunikasi reklamasi berbasis kolaborasi multi-stakeholder, diharapkan tercipta solusi yang lebih adaptif dan responsif terhadap dinamika sosial-ekologis yang muncul di wilayah reklamasi, serta menjadi investasi penting untuk membangun kembali kepercayaan dan sinergitas antara perusahaan tambang, pemerintah, dan masyarakat. Pendekatan strategis ini, sejalan dengan prinsip-prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) khususnya tujuan ke-17 mengenai partnerships for the goals yang menekankan pentingnya kemitraan lintas sektor untuk mencapai pembangunan berkelanjutan. Selain itu, memperkuat dukungan serta partisipasi aktif masyarakat lokal juga merupakan implementasi dari tujuan SDGs ke-16 tentang peace, justice and strong institutions, dan tujuan ke-11 tentang sustainable cities and communities, yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan serta pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan (United Nations, 2015).

Pendekatan komunikasi reklamasi yang mengutamakan kolaborasi multi-stakeholder akan memperkuat tata kelola yang transparan dan akuntabel, serta bergantung pada komitmen bersama untuk mewujudkan program reklamasi dan kegiatan pascatambang yang bertanggung jawab, serta selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

 

Penulis: Ari Wibowo (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Riset Interdisipliner: Kunci Akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan

BeritaHowdy SDGs! Tuesday, 17 June 2025

Di tengah tantangan global yang sangat kompleks dewasa ini, pendekatan interdisipliner dalam riset menjadi semakin relevan, khususnya dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan SDGs ke-17 menekankan pentingnya kemitraan yang kuat dan inklusif di semua tingkatan untuk mendukung agenda pembangunan yang berkelanjutan. Jika dispesifikkan ke dalam konteks pendidikan tinggi, riset interdisipliner memiliki peluang yang besar untuk mengkolaborasikan keahlian dari berbagai bidang, seperti teknik, ekonomi, kesehatan, sosial humaniora, sains, hingga lingkungan untuk menghasilkan solusi yang lebih holistik dan aplikatif terhadap isu-isu global yang sudah terjadi atau mungkin akan terjadi.

Kolaborasi lintas fakultas menjadi pondasi utama dalam membangun riset interdisipliner yang berdampak. Misalnya, isu perubahan iklim tidak dapat ditangani hanya oleh ilmuwan lingkungan saja, tetapi juga membutuhkan pendekatan dari ahli kebijakan publik, pakar data, serta peneliti ekonomi. Mahasiswa dan dosen di jenjang pascasarjana memiliki peran strategis sebagai penggerak inovasi yang mampu menggabungkan beragam perspektif dalam satu kerangka riset bersama. Fakultas dan program studi yang membuka ruang kolaborasi dan menyediakan skema penelitian lintas bidang terbukti lebih produktif dalam menghasilkan karya berupa publikasi dan paten yang mendukung SDGs.

Tak kalah penting, kemitraan internasional antar perguruan tinggi juga menjadi katalis penting dalam memperluas jangkauan dan dampak riset. Program joint research, pertukaran mahasiswa, dosen tamu, hingga publikasi bersama di jurnal bereputasi merupakan wujud nyata penerapan SDGs ke-17 dalam skala global. Melalui kolaborasi lintas negara, mahasiswa pascasarjana tidak hanya memperluas wawasan ilmiah, tetapi juga membangun jejaring global yang mendukung transfer teknologi, kebijakan berbasis data, dan solusi lokal yang dapat direplikasi secara internasional.

Oleh karena itu, mendorong riset interdisipliner dan memperkuat kemitraan lintas institusi akademik menjadi langkah strategis yang tidak bisa ditawar. Kampus sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan harus menjadi ruang kolaboratif yang inklusif, fleksibel, dan terbuka terhadap perubahan. Dengan menjadikan SDGs sebagai pijakan utama dalam merancang riset, dunia pascasarjana tidak hanya berkontribusi pada kemajuan akademik, tetapi juga pada pembangunan global yang lebih adil, berkelanjutan, dan berbasis kolaborasi.

Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Ekonomi Sirkular di Lingkungan Akademik: Dari Laboratorium ke Kebijakan Publik

BeritaHowdy SDGs! Wednesday, 4 June 2025

Penerapan prinsip ekonomi sirkular di lingkungan akademik menjadi langkah strategis untuk mewujudkan kampus yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara ekologis. Ekonomi sirkular menekankan pada pengurangan limbah melalui desain ulang sistem produksi dan konsumsi, dengan prinsip 3R: Reduce, Reuse, dan Recycle. Dalam konteks kampus, limbah dari laboratorium, kantin, dan aktivitas mahasiswa sering kali berkontribusi signifikan terhadap degradasi lingkungan, padahal di sisi lain, kampus memiliki kapasitas intelektual dan teknologi untuk menjadi pelopor perubahan. Hal ini sejalan dengan Tujuan SDGs ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan SDGs ke-11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) yang menuntut lembaga pendidikan turut mengambil peran dalam transformasi sistem konsumsi.

Berbagai kampus di Indonesia telah mulai menerapkan inisiatif pengolahan limbah berbasis ekonomi sirkular. Contoh best practice dapat ditemukan di beberapa universitas yang telah mendirikan bank sampah digital (UNS dan ITS), unit pengelolaan kompos dari sisa makanan kantin (UGM dan ITB), serta laboratorium daur ulang plastik untuk keperluan riset (UGM dan UI). Mahasiswa pascasarjana berperan aktif dalam pengembangan teknologi ini melalui penelitian terapan yang tidak hanya menghasilkan inovasi, tetapi juga mendukung pengambilan kebijakan internal kampus. Hasil riset tersebut kerap menjadi rekomendasi strategis bagi pimpinan universitas dalam menetapkan kebijakan pengelolaan limbah dan energi terbarukan di lingkungan kampus.

Lebih dari sekadar pengolahan limbah, penerapan ekonomi sirkular di kampus membutuhkan pendekatan transdisipliner yang melibatkan bidang teknik, sains, sosial, ekonomi, hingga komunikasi. Hal ini penting agar solusi yang ditawarkan tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga dapat diterima secara sosial dan ekonomis. Mahasiswa dan dosen dari berbagai program studi perlu bekerja sama dalam merancang sistem pengelolaan limbah yang efektif, edukatif, dan layak diterapkan secara luas. Pendekatan ini juga menciptakan ekosistem riset yang kolaboratif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga memperluas dampak kampus sebagai agen perubahan sosial dan lingkungan.

Transformasi ini idealnya tidak berhenti di dalam kampus, melainkan menjadi model kebijakan publik yang dapat direplikasi di kota dan komunitas sekitar. Ketika praktik ekonomi sirkular dari laboratorium kampus diadopsi oleh pemerintah daerah, maka terjadi sinergi antara sains, kebijakan, dan aksi nyata di lapangan. Inilah peran penting institusi pascasarjana, dimana tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga menerjemahkannya menjadi aksi dan kebijakan yang mendukung pencapaian tujuan SDGs secara nyata dan terukur. Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga laboratorium kehidupan yang mampu memberi solusi bagi masa depan yang berkelanjutan.

Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Melalui Bank Sampah dan Budaya “Kato Saio” di Kota Jambi

BeritaHowdy SDGs! Tuesday, 27 May 2025

Terjadinya industrialisasi, pertumbuhan populasi yang pesat, dan perilaku konsumtif yang tidak berimbang dengan kepedulian terhadap lingkungan menjadi latar belakang pentingnya penerapan pengolahan sampah rumah tangga. The Atlas of Sustainable Development Goals tahun 2023, Bank Dunia mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 2,2 miliar ton sampah di seluruh dunia dan akan terus meningkat hingga 73% pada tahun 2025. Terjadinya lonjakan tren timbulan sampah di Indonesia yang kini telah menyentuh angka 68,9 juta ton per tahunnya dengan 51% rinciannya berasal dari aktivitas rumah tangga (RT) (KLHK, 2023). Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci dalam upaya pengelolaan limbah rumah tangga secara berkelanjutan karena masyarakat merupakan penghasil dari sampah itu sendiri. Namun, bentuk partisipasi masyarakat dalam program ini masih beragam, mulai dari berpartisipasi dalam bentuk ide, tenaga fisik, dan keterampilan. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah peranan budaya kato saio yang berkembang secara alami diantara lingkungan sosial masyarakat Kota Jambi menjadi salah satu faktornya.

Pada tahun 2024, setidaknya masing-masing provinsi di Indonesia telah memiliki unit Bank Sampah yang aktif menghimpun dan mengelola sampah. Pulau Sumatera merupakan wilayah dengan jumlah penduduk terbanyak kedua setelah pulau Jawa. Wilayah ini memiliki setidaknya 1500 lebih unit bank sampah yang tersebar di sepuluh provinsi dengan persentase pengelolaan sampah sebesar 5,25%. Walaupun presentasi pengelolaan sampah di Sumatera termasuk rendah, Kota Jambi tercatat sebagai salah satu wilayah yang berhasil mengelola sampah hingga menyentuh angka 91,16% dengan hanya mengoperasikan 44 unit bank sampah (SIPSN, 2023). Adapun bank sampah yang aktif menjalankan berbagai program pengelolaan sampah yang optimal di Kota Jambi adalah Bank Sampah Unit Tanjung Sari.

Bank Sampah Unit Tanjung Sari ini menjalankan beberapa program sebagai upaya meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam mengelola sampah, yakni seperti Sikat Srangga (Aksi Angkat Sampah Rumah Tangga), Jaksa SD (Bijak Sampah Sejak Dini), menabung sampah menjadi emas, uang, sembako, daging, dan voucher, pelatihan pembuatan pakan maggot, pelatihan daur ulang sampah, serta budidaya ikan lele sistem bioflok terintegrasi dalam program desa energi berdikari. Namun, bentuk partisipasi masyarakat dalam program ini masih beragam, mulai dari berpartisipasi dalam bentuk ide, tenaga fisik, dan keterampilan.

Partisipasi masyarakat dalam Program Bank Sampah Unit Tanjung Sari paling direfleksikan oleh partisipasi keterampilan dengan dukungan dari faktor eksternal berupa peran anggota dalam kelompok dan peranan budaya kato saio, serta faktor internal berupa kekosmopolitan Nasabah Bank Sampah Unit Tanjung Sari. Bentuk strategi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Program Bank Sampah Tanjung Sari Kota Jambi adalah dengan melakukan peningkatan partisipasi, terutama dalam bentuk partisipasi ide yang dapat ditingkatkan melalui penguatan faktor eksternal, berupa peran anggota dalam kelompok yang di dalamnya meliputi task role, maintenance role, dan blocking role, serta peranan budaya kato saio, seperti kerjasama (gotong royong), tanggung jawab sosial, dan toleransi (saling menghargai).

Diperlukannya upaya untuk mendorong terjadinya koordinasi kerja yang sehat dan komunikasi yang aktif dalam komunitas. Untuk itu, strategi yang dapat dilakukan adalah memperkuat struktur organisasi internal bank sampah melalui pembentukan unit-unit kerja kecil, yang bertanggung jawab pada pengelolaan, edukasi, dan inovasi pengolahan limbah. Kegiatan rutin seperti forum diskusi terbuka, rotasi tanggung jawab antar anggota, dan pencatatan ide dalam notulen harian menjadi sarana menjaga keterlibatan dan kontinuitas partisipasi. Sementara itu, penguatan nilai budaya kato saio, terutama pada aspek tanggung jawab sosial dan toleransi dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai adat dalam kegiatan operasional. Kegiatan seperti gotong royong, piket kelompok, atau lomba antar RT berbasis lingkungan akan menyuburkan semangat basamo mangko jadi dalam konteks lingkungan modern.

Penulis: Muthia Zahra Mutmainnah (Mahasiswa Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan)
Editor dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM
Sumber: Seminar Hasil Penelitian Mahasiswa S2 PKP UGM

Kolaborasi Internasional Tingkatkan Literasi Digital Penyuluh Pertanian dan Petani Milenial DIY

BeritaHowdy SDGs! Wednesday, 21 May 2025

Upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin nyata dengan terselenggaranya pelatihan literasi digital bagi penyuluh pertanian dan petani milenial. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Fakultas Pertanian UGM, Sekolah Pascasarjana UGM, Universitas Passau Jerman, dan UPTD BPSDMP DIY. Pelatihan bagi penyuluh dilaksanakan pada Jumat, 02 Mei 2025, sedangkan pelatihan untuk petani milenial berlangsung pada 03, 05-07 Mei 2025, bertempat di BPSDMP DIY, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB.

Sebanyak 54 penyuluh pertanian dan 104 petani milenial dari Kabupaten Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul turut ambil bagian dalam pelatihan ini. Kegiatan dibuka oleh Prof. Subejo, S.P., M.P., Ph.D., Wakil Dekan Bidang Kerjasama dan Pengabdian Kepada Masyarakat Fakultas Pertanian UGM. Dalam sambutannya, Prof. Subejo menegaskan, “Literasi digital saat ini bukan lagi sekadar kemampuan tambahan, melainkan kebutuhan utama bagi penyuluh pertanian. Dengan penguasaan teknologi digital, para penyuluh dapat lebih efektif menyampaikan informasi dan membantu petani beradaptasi dengan inovasi pertanian modern.” Ia juga menambahkan, “Platform Lentera DESA menjadi media utama yang digunakan dalam pelatihan ini, memudahkan penyuluh dalam menjangkau petani secara lebih luas dan efektif. Dengan kemampuan digital yang semakin baik, penyuluh dapat memberikan informasi yang tepat waktu dan relevan sesuai kebutuhan petani.”

Materi pelatihan meliputi definisi dan urgensi literasi digital, pemanfaatan teknologi digital untuk aktivitas pertanian, marketing dan finansial, serta pembuatan konten penyuluhan digital. Salah satu peserta dari Kabupaten Kulon Progo, Bapak Tri Grambing, mengungkapkan, “Pelatihan yang sangat bagus sekali, khususnya bagi kami selaku penyuluh pertanian untuk meningkatkan kapasitas digital teknologi; ditengah-tengah kami minim mendapatkan pelatihan dari dinas.” Sementara itu, Bapak Sudarta dari Kabupaten Sleman menambahkan, “Pelatihan ini sangat menambah wawasan kami, terutama karena adanya beberapa aplikasi yang belum pernah kami pakai.”

Kegiatan ini berkontribusi pada pencapaian beberapa poin Sustainable Development Goals (SDGs), di antaranya SDG 1 (Pengentasan Kemiskinan), SDG 2 (Mengakhiri Kelaparan), SDG 4 (Pendidikan Berkualitas), SDG 8 (Pekerjaan Layak dan Pertumbuhan Ekonomi), dan SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur). Dengan penguatan literasi digital, diharapkan penyuluh dan petani milenial di DIY mampu mendorong pertanian yang semakin produktif, inovatif, dan berkelanjutan.

Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Target 5000 Langkah Sehari Sebagai Gerakan Sederhana Melawan Ancaman Senyap Diabetes dari Gaya Hidup Modern

BeritaHowdy SDGs! Friday, 9 May 2025

Diabetes melitus atau diabetes tipe 2 menjadi epidemi global yang kini marak terjadi dan tidak memandang usia. Diabetes ini merupakan kondisi kronis yang terjadi karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan benar sehingga kadar gula darah meningkat. Penyakit ini sering terjadi tanpa gejala yang mencolok di awal. Bahkan, diabetes sering kali tidak terdiagnosis hingga menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan ginjal, kebutaan, bahkan amputasi.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (Pusinfokesmas) FKMUI menunjukkan bahwa prevalensi diabetes meningkat signifikan setiap tahun. Penyebabnya adalah pola hidup yang minim aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, tinggi konsumsi makanan olahan, faktor keturunan, ataupun stres kronis. Survei Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 33% masyarakat Indonesia kurang beraktivitas fisik, menjadikan mereka rentan terhadap penyakit metabolik. Di tengah kekhawatiran ini, muncul sebuah fenomena sederhana namun berdampak besar yaitu gerakan 5000 langkah per hari sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Gerakan ini bukan hanya menjadi langkah kecil sebagai upaya pencegahan terhadap diabetes, tetapi juga sejalan dengan visi global untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkelanjutan melalui tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).

Berjalan kaki merupakan aktivitas fisik yang mudah, murah, dan bisa dilakukan siapa saja. Penelitian terkini menyatakan bahwa melakukan minimal 5000 langkah per hari sudah cukup untuk mengurangi risiko penyakit tidak menular, termasuk diabetes, meski sebelumnya standar yang populer adalah 10.000 langkah. Meskipun sekilas tampak sangat sederhana, tetapi ternyata manfaatnya luar biasa. 5000 langkah per hari antara lain: menurunkan kadar gula darah dan meningkatkan sensitivitas insulin, menurunkan tekanan darah dan kadar kolesterol, meningkatkan kesehatan jantung, mengurangi stres dan meningkatkan suasana hati, serta membantu menjaga berat badan ideal. Kebiasaan ini dapat dimulai dari aktivitas ringan seperti berjalan ke tempat kerja, menggunakan tangga, atau sekadar jalan sore di sekitar rumah.

Langkah kecil seperti berjalan kaki 5000 langkah per hari bisa menjadi fondasi perubahan besar. Pemerintah, sekolah, komunitas, dan individu dapat berkolaborasi untuk memberikan support melalui kampanye publik tentang manfaat jalan kaki dan pencegahan diabetes serta penyediaan fasilitas trotoar dan ruang terbuka hijau yang aman dan nyaman. Membangun pola hidup sehat melalui kebiasaan sederhana seperti berjalan kaki 5000 langkah sehari menjadi sangat relevan di tengah maraknya kasus diabetes.

Gerakan berjalan kaki 5000 langkah per hari dan gaya hidup sehat dalam pencegahan diabetes secara langsung mendukung tujuan SDGs 3 (kehidupan sehat dan sejahtera), SDGs 4 (pendidikan berkualitas), SDGs 10 (mengurangi ketimpangan), SDGs 11 (kota dan permukiman yang berkelanjutan), dan SDGs 13 (penanganan perubahan iklim). Tidak hanya memperbaiki kesehatan individu, tapi juga memperkuat langkah kita bersama dalam mewujudkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Karena mencegah lebih murah daripada mengobati, dan satu langkah kecil hari ini bisa jadi awal dari masa depan yang lebih sehat dan berkelanjutan.

Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

1234
Universitas Gadjah Mada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Teknika Utara, Pogung Yogyakarta – 5581
Telp : (0274) 544975, 564239 Fax : (0274) 547861, 564239
  pkp.pasca@ugm.ac.id
  @pkp.pasca.ugm
  +628112630752

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY