“Ego sektoral lagi, ego sektoral lagi!”
Jengah ketika selalu mendengar alasan mengapa sebuah program dengan ribuan rapat dan triliunan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ego sektoral selalu dituding sebagai lakon antagonis. Jika keberadaan ego sektoral dibayangkan sebagai sebuah orchestra yang masing-masing musisi memainkan lagu favoritnya di saat yang bersamaan, terdengar berisik, riuh, tak harmonis, tak nikmat, gagal.
Ego sektoral sebagai biang kerok penghambat pembangunan telah disadari sepenuhnya oleh orang nomor satu di Indonesia. Sebut saja, Mantan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Arahan pada awal pemerintahannya, tahun 2015 di dua ruang siding berbeda: Sidang Kabinet dan sidang Tahunan MPR, Presiden terpilih ini sudah memancarkan sinyal anti-ego sektoral. “jangan terjebak ego sektoral, pemerintah harus satu, konsolidasi kementerian/lembaga harus betul-betul selesai”. Masih dengan nada yang sama, “Hilangkan Ego sektoral, apalagi ego kementerian, ego kepala Lembaga”. Pernyataan ini disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara tanggal 9 April 2018. Tujuh tahun sejak pemerintahannya, pernyataan tidak berubah “persoalannya kelihatan, solusinya kelihatan, tetapi tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita”, tegas Jokowi saat pidato dalam acara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit tanggal 9 Juni 2022 di Wakatobi.
Pejabat negara di bawah Jokowi tentu saja mengamini pernyataan Kepala Negara-nya. Pramono Agung, Sekretaris Kabinet (2015-2024), menyayangkan proses pembangunan Jakarta yang justru menerapkan pendekatan ego sektoral dalam menangani masalah polusi udara. Menurut Pram, panggilan akrabnya, Pemprov Jakarta tidak bisa menyelesaikan masalah itu sendiri tanpa kolaborasi dengan pusat dan pihak lain. Kritik terhadap ego sektoral juga dilayangkan Yuddy Chrisnandi, Menteri Pan-RB Kabinet Kerja (2014-2016). Tumpang tindih tugas antar instansi melambatkan pelayanan publik adalah akibat eksistensi ego sektoral sebagai faktor penghambat reformasi birokrasi. Dua kasus ini adalah segelintir dari ratusan problematika ego sektoral yang sudah disadari betul oleh aparatur negara. Meski demikian, eksistensi ego sektoral belum juga pudar dari ranah pembangunan di Indonesia.
Perkara ego sektoral juga menjadi diskusi di kalangan akademisi. Dr. Ludji Michael Riwo Kore (Universitas Nusa Cendara Kupang) menyatakan bahwa ego sektoral antar kementerian dan lembaga menjadi penyebab utama lambatnya kebijakan Satu Peta Indonesia (One Map Policy). Pihak-pihak memiliki definisi yang berbeda hingga saling membatalkan rancangan yang telah dibuat. Di lain pihak, Pakar Tata Kota dari Universitas Gadjah Mada, Dr. Tri Mulyani Sunarhanum, menyatakan bahwa perlu iklim kolaborasi horizontal-dialog dua arah yang bersifat bottom-up dan cross sectoral untuk mengikis ego sektoral antar pemerintah di berbagai tingkat.
Berdasar pada pernyataan para tokoh dan pakar, dapat dipastikan bahwa ego sektoral adalah akar masalah pembangunan di Indonesia. Namun demikian, pada tataran produk akademik, hanya 95 artikel yang muncul di Scopus Indeks dengan kata kunci pencarian “ego sektoral”. Hal ini mengindikasi bahwa kajian topik ini belum banyak dibahas pada tataran internasional. Selain itu, artikel-artikel tersebut cenderung mengungkap kembali bahwa ego sektoral adalah biang masalah pembangunan di Indonesia, belum secara optimal menawarkan solusi untuk mereduksi ego sektoral dengan lebih detail dan implementatif.
Kajian komunikasi pembangunan menyebutkan tiga aktor utama dalam pembangunan yakni, pemerintah, bisnis dan masyarakat. Ketiga aktor ini diharapkan bisa selaras dan sinergi dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di Indonesia. Mengingat eksistensi ego sektoral, pertanyaan yang kemudian muncul adalah, “Bagaimana keberlanjutan pembangunan di Indonesia, jika pada tataran pemerintah saja belum beres perkara ego-egoan ini?”. Selain komunikasi yang bersifat partisipatif antara pemerintah, bisnis, dan masyarakat, praktik komunikasi ini idealnya juga dapat diterapkan antar pemerintah itu sendiri, baik antar kementerian/lembaga maupun instansi pusat dan daerah. Penerapan komunikasi partisipatif ini yang kemudian harus dirumuskan modelnya dengan tepat. Penelitian terkait faktor komunikasi apa saja yang mampu mereduksi ego sektoral didorong untuk dilakukan guna tercapainya pembangunan yang lebih baik di masa depan.
Ego sektoral merujuk pada sikap dan praktik yang lebih mementingkan kepentingan instansi sendiri tanpa peduli pada kepentingan bersama. Hal ini bertentangan dengan asas persatuan yang tercantum dalam ideologi bangsa, Pancasila dan UUD 1945. Disebutkan bahwa persatuan pemerintah pusat, daerah, swasta dan masyarakat adalah motor mewujudkan tujuan nasional. Asas lain yang terganggu adalah kedaulatan. Negara yang seharusnya mampu menentukan arah pembangunan secara mandiri justru terancam karena eksistensi ego sektoral di masing-masing instansi pemerintah. Tentu saja hal ini berdampak signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan pada aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan di segala sektor. Pembangunan menjadi tidak inklusif, tidak efisien, dan rawan meninggalkan kelompok rentan, terutama anak-anak sebagai generasi penerus pembangunan bangsa. Pemerintah harus berani melakukan refleksi dan berbenah untuk secara nyata menciptakan sinergitas, bukan hanya slogan semata seperti selama ini.
Penulis: Fibriyani Nur Aliya (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM