Pesantren masih menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat untuk memondokkan anak mereka belajar ilmu agama. Di tengah gempuran pemberitaan negatif mengenai pesantren di media, ternyata jumlah santri di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tentu ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab, apakah pesantren masih relevan sebagai tempat pendidikan yang berkualitas di Indonesia? Isu kekerasan baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual sering muncul di media massa dan juga media sosial. Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada tahun 2024, sebanyak 36 persen atau 206 kasus kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Dimana 16 persen atau 92 kasus terjadi di madrasah dan 20 persen atau 114 kasus terjadi di pesantren. Jenis kekerasan yang terjadi bervariasi diantaranya kekerasan fisik, perundungan, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif. Tingginya tingkat kekerasan di pesantren ternyata tidak menyurutkan masyarakat untuk memondokkan anak mereka di pesantren (Jannah, 2024). Data dari Education Management Information System (EMIS) Kementerian Agama Republik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah santri di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2023/2024 ke tahun 2024/2025 yaitu sebanyak 5,8 persen atau 512.029 santri. Jumlah santri pada tahun 2023/2024 di Indonesia tercatat sebanyak 8.837.160 santri, sedangkan pada tahun 2024/2025 jumlah santri meningkat menjadi 9.349.189 (Said, 2025).
sdgs 10: mengurangi ketimpangan
Diabetes melitus atau diabetes tipe 2 menjadi epidemi global yang kini marak terjadi dan tidak memandang usia. Diabetes ini merupakan kondisi kronis yang terjadi karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan benar sehingga kadar gula darah meningkat. Penyakit ini sering terjadi tanpa gejala yang mencolok di awal. Bahkan, diabetes sering kali tidak terdiagnosis hingga menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan ginjal, kebutaan, bahkan amputasi.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (Pusinfokesmas) FKMUI menunjukkan bahwa prevalensi diabetes meningkat signifikan setiap tahun. Penyebabnya adalah pola hidup yang minim aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, tinggi konsumsi makanan olahan, faktor keturunan, ataupun stres kronis. Survei Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 33% masyarakat Indonesia kurang beraktivitas fisik, menjadikan mereka rentan terhadap penyakit metabolik. Di tengah kekhawatiran ini, muncul sebuah fenomena sederhana namun berdampak besar yaitu gerakan 5000 langkah per hari sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Gerakan ini bukan hanya menjadi langkah kecil sebagai upaya pencegahan terhadap diabetes, tetapi juga sejalan dengan visi global untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkelanjutan melalui tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Tujuan pembangunan berkelanjutan khususnya poin nomor 5 (kesetaraan gender) tidak akan tercapai tanpa adanya komunikasi efektif untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat didalamnya. Salah satu caranya dapat dilakukan melalui pendekatan Theatre for Development (TfD) untuk membangkitkan partisipasi masyarakat. Sebagai medium komunikasi pembangunan, TfD didukung oleh adanya proximity dan kebutuhan hiburan yang bernuansa “lokal” sehingga menjadi modal awal untuk mensosialisasikan beragam isu pembangunan kepada masyarakat. Pendekatan TfD dalam masyarakat bisa dimanfaatkan untuk membedah sejarah budaya pada seni pertunjukan rakyat.
Bulan suci Ramadhan menjadi momentum istimewa bagi umat muslim di seluruh dunia untuk meningkatkan keimanan, kepedulian sosial, dan rasa solidaritas antar sesama. Tak jarang selama bulan Ramadhan banyak dijumpai orang-orang berhati mulia yang melakukan aksi sosial dan berbagi kepada orang lain. Mereka seperti berbondong-bondong untuk menunaikan kebaikan di bulan suci ini. Bahkan hal tersebut seolah-olah sudah menjadi tradisi tahunan yang harus ditunaikan untuk menggugurkan kewajiban walaupun sebenarnya opsional.
Terciptanya lingkungan yang adil dan inklusif menjadi salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Dalam hal ini diharapkan dapat memberikan ruang gerak yang lebih banyak bagi setiap individu dalam berpartisipasi di segala aspek kehidupan. Ketersediaan infrastruktur dalam perindustrian yang ramah bagi penyandang difabel perlu mendapat perhatian khusus. Tujuannya agar penyandang difabel dapat turut serta secara aktif dan tidak merasa tertinggal dalam upaya mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, dapat diartikan bahwa kemudahan akses yang inklusif dan ramah difabel menjadi pondasi yang penting dalam kesetaraan global.