Penerapan prinsip ekonomi sirkular di lingkungan akademik menjadi langkah strategis untuk mewujudkan kampus yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara ekologis. Ekonomi sirkular menekankan pada pengurangan limbah melalui desain ulang sistem produksi dan konsumsi, dengan prinsip 3R: Reduce, Reuse, dan Recycle. Dalam konteks kampus, limbah dari laboratorium, kantin, dan aktivitas mahasiswa sering kali berkontribusi signifikan terhadap degradasi lingkungan, padahal di sisi lain, kampus memiliki kapasitas intelektual dan teknologi untuk menjadi pelopor perubahan. Hal ini sejalan dengan Tujuan SDGs ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan SDGs ke-11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) yang menuntut lembaga pendidikan turut mengambil peran dalam transformasi sistem konsumsi.
SDGS 11: Kota dan Komunitas Berkelanjutan
Terjadinya industrialisasi, pertumbuhan populasi yang pesat, dan perilaku konsumtif yang tidak berimbang dengan kepedulian terhadap lingkungan menjadi latar belakang pentingnya penerapan pengolahan sampah rumah tangga. The Atlas of Sustainable Development Goals tahun 2023, Bank Dunia mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 2,2 miliar ton sampah di seluruh dunia dan akan terus meningkat hingga 73% pada tahun 2025. Terjadinya lonjakan tren timbulan sampah di Indonesia yang kini telah menyentuh angka 68,9 juta ton per tahunnya dengan 51% rinciannya berasal dari aktivitas rumah tangga (RT) (KLHK, 2023). Dalam konteks ini, partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci dalam upaya pengelolaan limbah rumah tangga secara berkelanjutan karena masyarakat merupakan penghasil dari sampah itu sendiri. Namun, bentuk partisipasi masyarakat dalam program ini masih beragam, mulai dari berpartisipasi dalam bentuk ide, tenaga fisik, dan keterampilan. Kondisi tersebut menimbulkan pertanyaan apakah peranan budaya kato saio yang berkembang secara alami diantara lingkungan sosial masyarakat Kota Jambi menjadi salah satu faktornya.
Diabetes melitus atau diabetes tipe 2 menjadi epidemi global yang kini marak terjadi dan tidak memandang usia. Diabetes ini merupakan kondisi kronis yang terjadi karena tubuh tidak dapat menggunakan insulin dengan benar sehingga kadar gula darah meningkat. Penyakit ini sering terjadi tanpa gejala yang mencolok di awal. Bahkan, diabetes sering kali tidak terdiagnosis hingga menyebabkan komplikasi serius seperti kerusakan ginjal, kebutaan, bahkan amputasi.
Di Indonesia, berdasarkan data dari Pusat Informasi Kesehatan Masyarakat (Pusinfokesmas) FKMUI menunjukkan bahwa prevalensi diabetes meningkat signifikan setiap tahun. Penyebabnya adalah pola hidup yang minim aktivitas fisik, pola makan tidak sehat, tinggi konsumsi makanan olahan, faktor keturunan, ataupun stres kronis. Survei Kemenkes menunjukkan bahwa lebih dari 33% masyarakat Indonesia kurang beraktivitas fisik, menjadikan mereka rentan terhadap penyakit metabolik. Di tengah kekhawatiran ini, muncul sebuah fenomena sederhana namun berdampak besar yaitu gerakan 5000 langkah per hari sebagai bagian dari gaya hidup sehat. Gerakan ini bukan hanya menjadi langkah kecil sebagai upaya pencegahan terhadap diabetes, tetapi juga sejalan dengan visi global untuk membangun masyarakat yang lebih sehat dan berkelanjutan melalui tujuan Sustainable Development Goals (SDGs).
Tujuan pembangunan berkelanjutan khususnya poin nomor 5 (kesetaraan gender) tidak akan tercapai tanpa adanya komunikasi efektif untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat didalamnya. Salah satu caranya dapat dilakukan melalui pendekatan Theatre for Development (TfD) untuk membangkitkan partisipasi masyarakat. Sebagai medium komunikasi pembangunan, TfD didukung oleh adanya proximity dan kebutuhan hiburan yang bernuansa “lokal” sehingga menjadi modal awal untuk mensosialisasikan beragam isu pembangunan kepada masyarakat. Pendekatan TfD dalam masyarakat bisa dimanfaatkan untuk membedah sejarah budaya pada seni pertunjukan rakyat.
Setiap menjelang hari raya, fenomena pemulung dan pengemis musiman kembali menjadi sorotan publik karena jumlahnya yang tiba-tiba meningkat di berbagai kota besar di Indonesia. Mereka datang dari berbagai daerah, bermigrasi ke kota-kota besar dengan harapan memperoleh sedekah dari masyarakat yang sedang merayakan hari kemenangan. Meskipun hal ini tampak sebagai fenomena sosial tahunan, keberadaan mereka menimbulkan dilema sosial dan kebijakan, khususnya dalam konteks urbanisasi, kesejahteraan, dan pengelolaan ruang kota. Fenomena ini tidak hanya menyangkut aspek sosial dan ekonomi, tetapi juga beririsan langsung dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya tujuan 1 (tanpa kemiskinan), tujuan 8 (pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), dan tujuan 11 (kota dan permukiman yang berkelanjutan). Perlu dilakukan analisis mengenai penyebab dan dampak dari fenomena ini serta rekomendasi kebijakan berbasis SDGs untuk penanganannya.
Di tengah arus modernisasi, Kampung Wisata Budaya Tenun di Kota Samarinda menjadi simbol
ketahanan budaya lokal. Sejak didirikan pada tahun 1668, kampung ini tidak hanya melestarikan tradisi
tenun, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dan penggerak perekonomian daerah. Penenun, yang memang adalah Perempuan memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan warisan
budaya ini.
Kain tenun Samarinda dibuat dengan teknik tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Keahlian ini menjadi aset penting bagi para penenun untuk memberdayakan diri mereka, baik secara ekonomi maupun sosial. Meski sebagian besar penenun adalah wanita berusia di atas 40 tahun, mereka tetap gigih menjaga keberlanjutan tradisi ini. Dengan memanfaatkan benang sutra impor berkualitas tinggi, mereka menciptakan sarung Samarinda yang terkenal dengan kehalusannya dan menjadi kebanggaan Kalimantan Timur.
Salah satu masalah lingkungan terbesar yang dihadapi dunia saat ini adalah sampah. Setiap tahun, jutaan ton sampah dihasilkan dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir atau bahkan mencemari laut dan ekosistem. Dampak dari limbah ini tak hanya dirasakan oleh lingkungan, tetapi juga kesehatan manusia serta kehidupan satwa. Seiring dengan meningkatnya populasi dan konsumsi, tantangan ini semakin mendesak untuk diatasi.
Namun, seberapa besar peran kita dalam masalah ini? Dan apa solusi yang bisa diterapkan secara efektif untuk mengurangi krisis sampah global? Isu sampah sejalan dengan tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan ke-11 (Kota dan Komunitas Berkelanjutan), tujuan ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab), serta tujuan ke-14 (Ekosistem Lautan). Pengelolaan sampah yang baik dan berkelanjutan menjadi krusial untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Namun, sebelum kita bicara tentang solusi, penting untuk memahami berbagai penyebab sampah yang terus meningkat setiap tahunnya.