Indonesia kini menjadi pemasok penting 9% produksi kopi di dunia rerata 700 ribu ton per tahun setelah produsen Brasilia dan Vietnam (worldstatistic.net, 2024). Problematika negara-negara produsen kopi terkadang serupa namun juga dapat berbeda dan spesifik. Karakteristik identik dari Sumatra, Jawa hingga Papua mempromosikan tradisi minum kopi, gaya hidup hingga bisnis. Gelombang kopi dalam perspektif SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mentransformasi kompleksitas masyarakat hari ini dari berbagai pemangku kepentingan kopi. Tidak hanya rantai mata pencaharian petani kopi, tetapi juga industri pemroses hingga pemasaran, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja hingga produksi dan konsumsi dituntut untuk ramah lingkungan.
SDGs 17: Menguatkan Sarana Pelaksanaan dan Merevitalisasi Kemitraan Global untuk Pembangunan Keberlanjutan
Komunikasi Reklamasi: Pendekatan Strategis untuk Membangun Ekosistem Pascatambang yang Berkelanjutan
Kasus dan problematika tata kelola industri pertambangan mineral di Indonesia selalu menjadi isu sentral yang sangat menarik perhatian, tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga dalam konteks keberlanjutan lingkungan dan sosial. Sejak lama Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan sumber daya mineral yang melimpah. Menurut data United States Geological Survey (USGS, 2023), Indonesia memiliki sekitar 42% dari total cadangan nikel global, serta menyumbang hingga 51% dari produksi nikel dunia. Selain itu, Indonesia merupakan produsen batubara terbesar ketiga secara global dengan kontribusi sekitar 9% terhadap total produksi batubara dunia. Sedangkan di sektor timah, Indonesia menempati posisi kedua sebagai produsen timah terbesar di dunia, dengan hasil produksi mencapai 78.000 ton per tahun, dengan cadangan terukur mencapai 2,8 juta ton atau sekitar 16% dari cadangan global.
Di tengah tantangan global yang sangat kompleks dewasa ini, pendekatan interdisipliner dalam riset menjadi semakin relevan, khususnya dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs). Tujuan SDGs ke-17 menekankan pentingnya kemitraan yang kuat dan inklusif di semua tingkatan untuk mendukung agenda pembangunan yang berkelanjutan. Jika dispesifikkan ke dalam konteks pendidikan tinggi, riset interdisipliner memiliki peluang yang besar untuk mengkolaborasikan keahlian dari berbagai bidang, seperti teknik, ekonomi, kesehatan, sosial humaniora, sains, hingga lingkungan untuk menghasilkan solusi yang lebih holistik dan aplikatif terhadap isu-isu global yang sudah terjadi atau mungkin akan terjadi.
Di era digital saat ini, pertanian bukan lagi sekadar soal menanam dan panen. Teknologi dan informasi telah mengubah wajah pertanian menjadi lebih modern dan efisien. Namun, bagaimana dengan para penyuluh pertanian yang menjadi ujung tombak dalam membawa perubahan ini ke tingkat petani? Literasi digital menjadi kunci untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya memahami, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi secara maksimal.
Pentingnya Literasi Digital bagi Penyuluh Pertanian
Penyuluh pertanian memiliki peran penting sebagai penghubung antara pengetahuan teknis dan praktik di lapangan. Namun, di tengah arus perkembangan teknologi, banyak penyuluh yang masih menghadapi tantangan dalam mengadopsi teknologi digital. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup pemahaman, komunikasi, dan penerapan informasi digital dalam pekerjaan sehari-hari.
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya hidup selaras dengan alam? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, ada sekelompok masyarakat di Timor Barat yang masih menjaga hubungan sakral dengan alam. Mereka adalah Atoin Meto. Istilah “Atoin Meto” terdiri dari dua kata: Atoin yang berarti laki-laki atau manusia dan Meto yang bermakna kering. Dalam konteks ini, Atoin Meto merujuk pada penduduk atau manusia yang mendiami “tanah kering” atau “daratan” sesuai dengan karakteristik geografis Pulau Timor yang
cenderung kering selama musim kemarau (Middelkoop, 1982 dalam Ataupah H 2020; Silab, Kanahebi, and Bessie 1997). Dengan demikian, etnis Atoin Meto mengacu pada kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah daratan dengan kondisi lingkungan yang relatif kering. Suku ini hidup dengan mempraktikkan pertanian berkelanjutan melalui ritual dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad.
Di era saat ini, komunikasi pembangunan sudah berkembang dengan sangat pesat. Komunikasi pembangunan merupakan diskursus baru yang ada di Indonesia. Awal mulanya, kajian tentang komunikasi pembangunan masih terintegrasi dalam rumpun ilmu komunikasi. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan diselenggarakannya Kuliah Tamu dengan tema “Komunikasi Pembangunan” oleh Program Studi Magister dan Doktor Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada. Kegiatan yang dilaksanakan pada hari Sabtu, 23 November 2024 di Ruang Sidang A Lantai 5 menghadirkan dua narasumber kompeten. Beliau adalah Drs. Zulkarimien Nasution, M.Sc., yang merupakan dosen Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia sekaligus penulis buku-buku bidang komunikasi serta Hazairin Pohan, S.H., M.A., yang merupakan mantan Duta Besar Polandia. Adanya diskusi yang mengalir menjadi sarana yang sangat baik dalam bertukar pandangan, perspektif, dan menjadi refleksi seputar posisi Indonesia dalam hubungan Internasional.