Dalam satu dekade terakhir, kemunculan ojek online dan layanan pesan-antar makanan telah mengubah pola hidup masyarakat Indonesia secara signifikan. Dari sekadar alat transportasi, ojek online kini menjelma menjadi bagian dari ekosistem ekonomi digital yang kompleks, melibatkan jutaan pengemudi, pelaku usaha mikro, hingga konsumen dari berbagai lapisan sosial. Fenomena ini tidak hanya merepresentasikan kemajuan teknologi informasi, tetapi juga menggambarkan dinamika pergeseran sosial-ekonomi baru yang erat kaitannya dengan upaya pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).
SDGs 9: Infrastruktur Industri dan Inovasi
“Ego sektoral lagi, ego sektoral lagi!”
Jengah ketika selalu mendengar alasan mengapa sebuah program dengan ribuan rapat dan triliunan anggaran tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ego sektoral selalu dituding sebagai lakon antagonis. Jika keberadaan ego sektoral dibayangkan sebagai sebuah orchestra yang masing-masing musisi memainkan lagu favoritnya di saat yang bersamaan, terdengar berisik, riuh, tak harmonis, tak nikmat, gagal.
Ego sektoral sebagai biang kerok penghambat pembangunan telah disadari sepenuhnya oleh orang nomor satu di Indonesia. Sebut saja, Mantan Presiden ke-7, Joko Widodo (Jokowi). Arahan pada awal pemerintahannya, tahun 2015 di dua ruang siding berbeda: Sidang Kabinet dan sidang Tahunan MPR, Presiden terpilih ini sudah memancarkan sinyal anti-ego sektoral. “jangan terjebak ego sektoral, pemerintah harus satu, konsolidasi kementerian/lembaga harus betul-betul selesai”. Masih dengan nada yang sama, “Hilangkan Ego sektoral, apalagi ego kementerian, ego kepala Lembaga”. Pernyataan ini disampaikan pada Sidang Kabinet Paripurna di Istana Negara tanggal 9 April 2018. Tujuh tahun sejak pemerintahannya, pernyataan tidak berubah “persoalannya kelihatan, solusinya kelihatan, tetapi tidak bisa dilaksanakan hanya gara-gara ego sektoral. Itulah persoalan kita”, tegas Jokowi saat pidato dalam acara Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit tanggal 9 Juni 2022 di Wakatobi.
Upaya peningkatan kapasitas sumber daya manusia pertanian di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) semakin nyata dengan terselenggaranya pelatihan literasi digital bagi penyuluh pertanian dan petani milenial. Kegiatan ini merupakan hasil kolaborasi Fakultas Pertanian UGM, Sekolah Pascasarjana UGM, Universitas Passau Jerman, dan UPTD BPSDMP DIY. Pelatihan bagi penyuluh dilaksanakan pada Jumat, 02 Mei 2025, sedangkan pelatihan untuk petani milenial berlangsung pada 03, 05-07 Mei 2025, bertempat di BPSDMP DIY, mulai pukul 08.00 hingga 16.00 WIB.
Di era digital saat ini, pertanian bukan lagi sekadar soal menanam dan panen. Teknologi dan informasi telah mengubah wajah pertanian menjadi lebih modern dan efisien. Namun, bagaimana dengan para penyuluh pertanian yang menjadi ujung tombak dalam membawa perubahan ini ke tingkat petani? Literasi digital menjadi kunci untuk memastikan bahwa mereka tidak hanya memahami, tetapi juga mampu memanfaatkan teknologi secara maksimal.
Pentingnya Literasi Digital bagi Penyuluh Pertanian
Penyuluh pertanian memiliki peran penting sebagai penghubung antara pengetahuan teknis dan praktik di lapangan. Namun, di tengah arus perkembangan teknologi, banyak penyuluh yang masih menghadapi tantangan dalam mengadopsi teknologi digital. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat, tetapi juga mencakup pemahaman, komunikasi, dan penerapan informasi digital dalam pekerjaan sehari-hari.
Di tengah arus modernisasi, Kampung Wisata Budaya Tenun di Kota Samarinda menjadi simbol
ketahanan budaya lokal. Sejak didirikan pada tahun 1668, kampung ini tidak hanya melestarikan tradisi
tenun, tetapi juga menjadi pusat pemberdayaan masyarakat dan penggerak perekonomian daerah. Penenun, yang memang adalah Perempuan memiliki peran vital dalam menjaga keberlanjutan warisan
budaya ini.
Kain tenun Samarinda dibuat dengan teknik tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Keahlian ini menjadi aset penting bagi para penenun untuk memberdayakan diri mereka, baik secara ekonomi maupun sosial. Meski sebagian besar penenun adalah wanita berusia di atas 40 tahun, mereka tetap gigih menjaga keberlanjutan tradisi ini. Dengan memanfaatkan benang sutra impor berkualitas tinggi, mereka menciptakan sarung Samarinda yang terkenal dengan kehalusannya dan menjadi kebanggaan Kalimantan Timur.