Belum optimalnya pengelolaan sektor pertanian di perdesaan menjadi tantangan bagi petani dan stakeholders. Selama kurun waktu 2013-2023 jumlah usaha pertanian mengalami penurunan yaitu sebesar 2,35 juta unit atau sekitar 7,42 persen (Sensus Pertanian, 2023). Jumlah petani gurem di Kabupaten Sleman sangat tinggi, mencapai 93,60%. Hal ini menjadi faktor penghambat juga bagi petani untuk bisa efisien dalam mengelola usaha pertaniannya. Jumlah lahan yang semakin kecil karena sistem budaya warisan dan adanya fragmentasi lahan menjadi kompleksitas masalah tersendiri. Penyusutan lahan memang tidak bisa dihindari, itulah sebabnya dibutuhkan inovasi dan pemanfaatan teknologi untuk optimalisasi lahan yang sudah ada agar produktivitas tinggi dan mampu memenuhi kebutuhan pangan masyarakat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa, tantangan sektor pertanian yaitu keterbatasan kapasitas menejemen, tingkat adopsi inovasi petani generasi tua dan lemahnya kelembagaan, selain itu rendahnya minat generasi muda menekuni sektor pertanian juga menjadi tantangan tersendiri (Rahimi-Feyzabad et al., 2020; Safe’i et al., 2022). Generasi muda yaitu milenial dan post milenial memiliki potensi dan memainkan peran penting bagi adopsi inovasi karena generasi muda lebih peka dan terampil memanfaatkan teknologi (Dixit et al., 2023; Timsina et al., 2023). Daya saing dan pengembangan pertanian di perdesaan harapannya akan tercapai jika ada perbaikan manajemen dan pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan pertanian secara agribisnis dari hulu sampai hilir serta memberikan nilai tambah pada produk olahan pertanian (Faqih et al., 2020).
Hambatan dan dinamika antara petani tua dan petani muda terjadi karena beberapa perbedaan diantaranya adalah respon dalam mengakses informasi, pengetahuan dan inovasi teknologi, serta motivasi untuk melakukan eksperimen dan uji coba berulang kali. Kegagalan tidak menyurutkan semangat para petani muda untuk berinovasi demi keberhasilan usaha bertaninya. Dinamika dan faktor struktural petani muda yang diidentifikasi berkontribusi terhadap keberlangsungan kreasi pengetahuan antargenerasi untuk pertanian berkelanjutan (Tolinggi et al., 2023; Zantsi, 2021). Generasi milenial atau gen Y dan gen Z memiliki karakter cenderung lebih fokus kepada pola hidup bebas, pola pikir dan karakter mereka sering out of the box, penuh kreativitas, inovatif, dan cepat beradaptasi dengan teknologi baru (Daeid, 2008). Generasi ini sangat dinamis dan ingin serba cepat dalam segala urusan. Namun, generasi ini juga terbuka terhadap pemikiran baru (open minded), kritis, dan berani, dengan karakter ini, generasi Y akan dapat menciptakan peluang baru seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin mutakhir.
Perbedaan habitus, modal dan field generasi petani menjadi salah satu hal yang menyebabkan perbedaan praktik pengelolaan generasi tua dan generasi muda. Habitus terbentuk dan terinternalisasi kedalam diri seseorang dalam kurun waktu yang tidak singkat. Habitus seseorang terbentuk dipengaruhi kondisi lingkungan, mulai dari pola pengasuhan orangtua, peer groups, pengalaman masa kecil, pedidikan yang pernah dialami, culture, nilai dan norma yang berlaku dimasyarakat. Konsep habitus disebutkan sebagai proses disposisional yaitu praktik sosial ditimbulkan dan diatur oleh disposisi yang tergabung, umum, transposable oleh peran, aturan, atau norma budaya atau oleh niat, makna, atau kalkulasi sadar. Petani yang semasa kecil memang malah terbilang “ngglidik” mereka memiliki keberanian yang tinggi. Pada praktik pengelolaan usaha akan lebih ulet dalam menghadapi masalah dan mau mencoba berkreasi untuk menerapkan inovasi pada usaha mereka.
Habitus adalah nilai-nilai sosial yang dihayati oleh manusia, dan tercipta melalui proses sosialisasi nilai-nilai yang berlangsung lama, sehingga mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang menetap di dalam diri manusia tersebut. Habitus seseorang begitu kuat, sampai mempengaruhi tubuh fisiknya. Habitus yang sudah begitu kuat tertanam serta mengendap menjadi perilaku fisik disebutnya sebagai Hexis. Penghayatan nilai-nilai yang ada di lingkungan, yang kemudian mengendap menjadi cara berpikir dan pola perilaku yang dihayati sebagai manusia. Gen X Lingkup pembentuk habitus dominan pendidikan, lingkungan keluarga dan peer group. Gen Y dan Z sudah banyak terpapar teknologi dan lingkungan secara global, nilai dan norma yang dianut berbeda dengan gen X. Habitus petani menjadi aspek penting bagi dirinya untuk bisa mengelola usaha tani. Hal ini karena habitus terinternalisasi kedalam diri seseorang membentuk pola fikir, pandangan, persepsi dan bahkan menjadi aspek yang berkaitan dengan motivasi petani dan pengambilan keputusan. Internalisasi terhadap struktur objektif tertentu akan menumbuh pada petani dan peternak dan pada waktunya petani dan peternak akan menghasilkan pola fikir dan cara bertindak dalam menjalankan praktik. Habitus antar generasi baik X, Y dan Z memiliki keberagaman, hal ini tidak lepas dari era ataupun zaman mereka hidup, gen Y dan Z lebih lekat dengan teknologi sehingga teknologi menjadi salah satu yang mempengaruhi juga pembentuk habitus. Habitus petani yang pada lingkungan keluarga dan lingkungan hidup mengajarkan menyukai sektor pertanian, terlibat langsung dalam pengelolaannya, memahami bagaimana suka duka menjadi petani peternak, ajaran bekerja keras, kemampuan mengelola, dan pembiasaan lainnya menjadi fondasi individu yang terinternalisasi ke dalam diri. Kebiasaan berfungsi sebagai elemen pembeda dan pemersatu antara individu dan sosial karena mereka dikembangkan melalui internalisasi kolektif struktur dunia sosial sepanjang sejarah individu.
Petani X memiliki karakter yang berbeda dari generasi Y dan Z dalam hal keterbukaan informasi dan pengalaman. Sebagian besar petani generasi X memiliki keunggulan dari aspek pengalaman dan keterampilan teknis pengelolaan usahatani, hal ini karena mereka sudah lama menekuni sektor pertanian, akan tetapi belum memahami bagaimana menggunakan teknologi untuk mengeksplorasi dan menyebarluaskan pengetahuan, wawasan dan pengalaman dalam memberikan dampak pada usaha yang dimiliki untuk semakin eksis. Petani generasi Y lebih terbuka terhadap hilirisasi komoditas pertanian dan peternakan, menyadari bahwa keuntungan yang diperoleh akan lebih besar apabila dikelola dengan prinsip agribisnis dari hulu sampai hilir dengan kelembagaan yang kuat, sebagai contohnya petani milenial sleman membentuk badan usaha PT petani milenial, mereka mengharapkan akan mendapatkan benefit yang lebih sebagai wujud kelembagaan untuk memfasilitasi petani dalam penguatan dan pemasaran usaha pertanian.
Sebagian generasi muda menyadari bahwa ada tiga amunisi utama dalam mencapai kesuksesan dalam mengelola sektor pertanian. Pertama adalah manfaatkan smart farming dan yang kedua adalah tingkatkan skala usaha melalui akses kredit usaha rakyat (KUR), dan yang ketiga kolaborasi, jejaring kerjasama dan kemitraan. Pada generasi Y, modal sosial menjadi modal dasar, yang didukung dengan kemampuan mereka dalam memanfaatkan teknologi. Konsep modal adalah salah satu kontribusi terpenting dari teori Bourdieu terhadap ilmu sosial.
Menurut Bourdieu modal terdiri dari modal ekonomi, modal sosial, modal budaya dan modal simbolik. Modal simbolik adalah modal yang masih awam difahami, dan belum banyak yang mampu mempertukarkan dan melipatgandakannya. Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan di bangun di atas dialektika pengetahuan dan pengenalan modal simbolik tidak terlepas dari kekuasaan simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, berkat akibat khusus suatu mobilisasi. Misalnya modal simbolik sebagai generasi muda yang menjadi Young Ambassador Agriculture program YESS dari kementrian Pertanian misalnya, seseorang yang memiliki modal simbolik ini, mampu mempertukarkan dengan modal sosial. Dengan amanah menyebarkan informasi positif mengenai dunia pertanian untuk menumbuhkembangkan agrosociopreneur, meningkatkan citra positif bidang pertanian melalui perubahan mindset, pemberian informasi dan motivasi sebagai representasi duta muda pertanian, mereka semakin bisa dikenal. Prestice yang melekat memungkinkan seseorang untuk lebih memiliki akses terhadap jejaring untuk semakin mengembangkan dan meluaskan praktik usahanya.
Perluasan jejaring kerjasama menjadi ranah untuk petani semakin mengembangkan usaha yang dimiliki. Konsep ranah dan modal merupakan hubungan dialektis dengan habitus dalam pembentukan praktik. Ranah menjadi ajang bagi petani dan peternak untuk bisa meningkatkan kapasitas diri, melipatkandakan dan mempertukarkan modal, baik itu modal ekonomi, modal intelektual, modal sosial, modal budaya bahkan modal simbolik yang melekat pada diri petani dan peternak. Petani dan peternak dalam pelaksanaan praktik pengelolaan usaha nya untuk bisa semakin survive dan berkembang diperlukan pembentukan habitus yang selaras untuk berkiprah pada ranah untuk bisa mengoptimalkan modal yang digunakan dalam upaya membuat diri menjadi berdaya. Habitus, modal yang dimiliki menjadi fondasi bagi seseorang untuk memiliki karakter, pemikiran dan tindakan. Kombinasi habitus dan modal dalam field digunakan seseorang dalam pelipatgandaan modal, keleluasaan field menjadi ajang yang dipergunakan untuk atas praktik usaha yang dilakukan. Pada upaya regenerasi petani perlu dimulai dari penanaman habitus mulai dari sekarang, dari setiap individu petani.
Dalam upaya mewujudkan keberdayaan petani dan mengurangi tingkat kemiskinan di perdesaan maka perlu membangun habitus yang mendukung kesadaran generasi X untuk mau membuka diri dan fikiran untuk inovasi baru, berkolaborasi dengan generasi Y dan Z untuk kebutuhan pemanfaatan teknologi. Generasi Y dan Z merangkul generasi X, karena secara norma, tidak semua generasi X mau meminta dan memulai diskusi. Inisiatif diperlukan dari generasi muda, khususnya generasi Y yang sudah memiliki kapasitas dan akses lebih dibandingkan generasi Z. Kolaborasi antar generasi harapannya mampu menumbuhkan dan memajukan sektor pertanian, sehingga petani lebih berdaya dan membentuk image positif profesi petani.
Bagi lingkungan keluarga petani dan masyarakat perdesaan, mengenalkan kepada anak dan lingkungan bagaimana sektor pertanian dan peternakan sebagai sektor yang menjanjikan. Perlunya role model, agent of change yang merubah mindset masyarakat bahwa bertani memiliki level bawah, bahwa bertani miskin. Pembuktian dan memulai ajaran dari lingkungan terkecil dan dari usia dini harapannya menanamkan habitus menyukai pertanian. Diperlukan peningkatan kapasitas petani, ini adalah modal dasar untuk bisa mengembangkan usaha yang dimiliki dari subsisten menjadi usaha agribisnis yang memiliki kelembagaan yang kuat untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
Ekosistem perlu dibangun petani antar generasi dengan stakeholders, dukungan dari pemerintah daerah dan dinas terkait. Keterlibatan privat sektor dalam hilirisasi serta kepedulian dari akademisi untuk mendampingi dan melakukan riset yang bisa mengakselerasi pengelolaan pertanian dengan kelembagaan yang kuat. Ekosistem yang saling memberikan kontribusi sesuai perannya diharapkan mampu perlahan memberikan angin segar bagi kebangkitan sektor pertanian, untuk merubah pandangan bahwa sektor pertanian adalah sektor yang potensial dan mampu memberikan keberdayaan kepada petani untuk mengurangi tingkat kemiskinan yang ada di perdesaan.
Penulis: Ibu Tutik
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM