
Pernahkah Anda membayangkan bagaimana rasanya hidup selaras dengan alam? Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern yang serba cepat, ada sekelompok masyarakat di Timor Barat yang masih menjaga hubungan sakral dengan alam. Mereka adalah Atoin Meto. Istilah “Atoin Meto” terdiri dari dua kata: Atoin yang berarti laki-laki atau manusia dan Meto yang bermakna kering. Dalam konteks ini, Atoin Meto merujuk pada penduduk atau manusia yang mendiami “tanah kering” atau “daratan” sesuai dengan karakteristik geografis Pulau Timor yang
cenderung kering selama musim kemarau (Middelkoop, 1982 dalam Ataupah H 2020; Silab, Kanahebi, and Bessie 1997). Dengan demikian, etnis Atoin Meto mengacu pada kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah daratan dengan kondisi lingkungan yang relatif kering. Suku ini hidup dengan mempraktikkan pertanian berkelanjutan melalui ritual dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun selama berabad-abad.
Mengenal Lima Tahapan Sakral Bertani
Berbeda dengan pertanian modern yang seringkali mengabaikan aspek spiritual, Atoni Meto memiliki lima tahapan bertani yang sarat makna (Binsasi 2022; Liubana and Ibrahim Nenohai 2021; Manafe 2020). Mari kita telusuri satu per satu:
- Ta’pai, Tof (Persiapan yang Penuh Makna): Sebelum mencangkul tanah atau membuka lahan, masyarakat Atoni Meto selalu mengawali dengan ritual khusus. Mereka memohon restu kepada Uis Neno (Tuhan langit), Uis Pah (dewa bumi), dan Be’i Na’i (leluhur). Ritual ini bukan sekadar formalitas, tetapi bentuk penghormatan pada alam yang akan memberikan mereka kehidupan.
- Bah (Lebih dari Sekadar Pagar): Tahap pembuatan pagar atau ‘Bah’ bukanlah aktivitas sederhana. Pagar bagi Atoni Meto adalah simbol perlindungan dan penghormatan terhadap batas- batas alam. Saat membuat pagar, mereka melakukannya dengan semangat Moen tabua (hidup bersama) – sebuah nilai yang mengajarkan bahwa setiap pekerjaan akan lebih ringan jika dilakukan bersama.
- Sen (Menanam dengan Hati): Proses penanaman dilakukan dengan filosofi Meup tabua, nekaf mese ansaof mese – bekerja sama dengan satu hati dan satu pikiran. Bayangkan betapa indahnya ketika seluruh komunitas berkumpul, saling membantu menanam benih-benih kehidupan dengan penuh harapan.
- Tof Mau (Merawat dengan Cinta): Dalam merawat tanaman, masyarakat Atoni Meto menerapkan prinsip Tmatop Mat Mafit – saling bergandengan tangan menyelesaikan pekerjaan. Tidak ada yang merasa bekerja sendiri, semua saling mendukung dan menguatkan.
- Sek, Hon (Mensyukuri Hasil Panen): Tahap panen menjadi momen yang paling dinantikan. Dengan semboyan Meup on ate tah on usif (bekerja seperti hamba, makan seperti raja), mereka mengajarkan kita tentang keseimbangan antara kerja keras dan menikmati hasil dengan penuh syukur.
Pelajaran Berharga untuk Kita
Apa yang bisa kita pelajari dari Atoni Meto? Ternyata, nilai-nilai yang mereka anut sangat relevan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs):
Ketika mereka menjaga keseimbangan alam melalui ritual dan praktik bertani, mereka mendukung SDG 13 (Aksi Iklim) dan SDG 15 (Kehidupan di Darat)
Semangat gotong royong mereka mencerminkan SDG 17 (Kemitraan)
Sistem pertanian mereka yang berkelanjutan mendukung SDG 2 (Tanpa Kelaparan)
Nilai-nilai komunal mereka berkontribusi pada SDG 1 (Tanpa Kemiskinan)
Mari Mulai dari Diri Sendiri
Kita mungkin tidak bisa langsung menerapkan semua praktik Atoni Meto dalam kehidupan modern. Namun, kita bisa mulai dengan hal-hal kecil:
Bersyukur sebelum memulai pekerjaan
Menghargai alam dalam kegiatan sehari-hari
Memperkuat semangat gotong royong di lingkungan kita
Menerapkan prinsip keberlanjutan dalam gaya hidup
Penulis: Musa Frengkianus Banunaek (mahasiswa Program Studi S3 PKP Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM