
Tujuan pembangunan berkelanjutan khususnya poin nomor 5 (kesetaraan gender) tidak akan tercapai tanpa adanya komunikasi efektif untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat didalamnya. Salah satu caranya dapat dilakukan melalui pendekatan Theatre for Development (TfD) untuk membangkitkan partisipasi masyarakat. Sebagai medium komunikasi pembangunan, TfD didukung oleh adanya proximity dan kebutuhan hiburan yang bernuansa “lokal” sehingga menjadi modal awal untuk mensosialisasikan beragam isu pembangunan kepada masyarakat. Pendekatan TfD dalam masyarakat bisa dimanfaatkan untuk membedah sejarah budaya pada seni pertunjukan rakyat.
Dalam komunikasi pembangunan, sensitivitas gender penting untuk diperhatikan karena dapat mendorong representasi yang adil dan tidak stereotipikal dalam proses penyampaian pesan pembangunan. Terlebih, Indonesia merupakan negara dengan beragam kebudayaan dan adat istiadat masyarakatnya. Antara wilayah yang satu dengan yang lainnya tentu memiliki budaya dan adat istiadat khas yang berbeda. Perbedaan inilah yang memungkinkan adanya “guyonan” atau “dagelan” khusus yang terkadang dianggap hal biasa dan tidak penting, padahal berkaitan erat dengan nilai, norma, dan gender. Agar dapat dikembangkan dengan baik, perlu diketahui bahwa terdapat lima prinsip dalam pertunjukan rakyat, meliputi tidak mengandung unsur SARA dan pornoaksi, berbasis media dialog/monolog, bersifat menghibur, populer, dan relate atau masih relevan dengan kondisi saat ini.
Di wilayah Jawa Timur, terdapat pertunjukan rakyat Guyon Maton Cak Percil. Pertunjukan rakyat tersebut merupakan kelompok dagelan yang sedang populer dan banyak digemari oleh masyarakat. Tak jarang, pertunjukan rakyat tersebut juga menjadi media penghubung antara pemerintah daerah di Jawa Timur untuk menyampaikan pesan pembangunan kepada masyarakatnya. Pemanfaatan pertunjukan rakyat sebagai media komunikasi dilakukan karena tingginya antusiasme masyarakat untuk datang dan menonton. Tak hanya disaksikan secara tatap muka saja, penonton juga difasilitasi dengan tayangan live streaming melalui channel Youtube yang disiarkan dan disaksikan oleh ratusan ribu hingga jutaan penonton. Meski demikian, bisa jadi masih ada celah yang perlu dijaga agar tidak terjadi pelanggaran nilai, norma, ataupun gender dalam pertunjukan rakyat yang digelar.
Sensitivitas gender dalam hal ini berorientasi untuk menghindari adanya diskriminasi dengan menumbuhkan rasa hormat terhadap orang lain terlepas dari perbedaan gender yang ada. Pada konteks komunikasi pembangunan, sikap tersebut mendorong representasi yang adil dan tidak stereotipikal dalam penyampaian pesan pembangunan. Bahasa yang tidak diskriminatif dan sensitif gender, menjadikan gender relevan untuk komunikasi, dan tidak menampilkan gender jika memang tidak relevan untuk komunikasi menjadi suatu mandat penting yg seharusnya diinternalisasi dalam komunikasi pembangunan. Tujuannya, agar stakeholder yang berkaitan dapat memberikan perhatian terhadap perlunya menggunakan tata bahasa dan tata perilaku yang tidak bias.
Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM
Sumber: Anik Mustika Rahayu (Mahasiswa Magister Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan) dalam Seminar Hasil Penelitian Mahasiswa S2 PKP UGM