
Penerapan prinsip ekonomi sirkular di lingkungan akademik menjadi langkah strategis untuk mewujudkan kampus yang berkelanjutan dan bertanggung jawab secara ekologis. Ekonomi sirkular menekankan pada pengurangan limbah melalui desain ulang sistem produksi dan konsumsi, dengan prinsip 3R: Reduce, Reuse, dan Recycle. Dalam konteks kampus, limbah dari laboratorium, kantin, dan aktivitas mahasiswa sering kali berkontribusi signifikan terhadap degradasi lingkungan, padahal di sisi lain, kampus memiliki kapasitas intelektual dan teknologi untuk menjadi pelopor perubahan. Hal ini sejalan dengan Tujuan SDGs ke-12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) dan SDGs ke-11 (Kota dan Permukiman yang Berkelanjutan) yang menuntut lembaga pendidikan turut mengambil peran dalam transformasi sistem konsumsi.
Berbagai kampus di Indonesia telah mulai menerapkan inisiatif pengolahan limbah berbasis ekonomi sirkular. Contoh best practice dapat ditemukan di beberapa universitas yang telah mendirikan bank sampah digital (UNS dan ITS), unit pengelolaan kompos dari sisa makanan kantin (UGM dan ITB), serta laboratorium daur ulang plastik untuk keperluan riset (UGM dan UI). Mahasiswa pascasarjana berperan aktif dalam pengembangan teknologi ini melalui penelitian terapan yang tidak hanya menghasilkan inovasi, tetapi juga mendukung pengambilan kebijakan internal kampus. Hasil riset tersebut kerap menjadi rekomendasi strategis bagi pimpinan universitas dalam menetapkan kebijakan pengelolaan limbah dan energi terbarukan di lingkungan kampus.
Lebih dari sekadar pengolahan limbah, penerapan ekonomi sirkular di kampus membutuhkan pendekatan transdisipliner yang melibatkan bidang teknik, sains, sosial, ekonomi, hingga komunikasi. Hal ini penting agar solusi yang ditawarkan tidak hanya berbasis teknologi, tetapi juga dapat diterima secara sosial dan ekonomis. Mahasiswa dan dosen dari berbagai program studi perlu bekerja sama dalam merancang sistem pengelolaan limbah yang efektif, edukatif, dan layak diterapkan secara luas. Pendekatan ini juga menciptakan ekosistem riset yang kolaboratif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga memperluas dampak kampus sebagai agen perubahan sosial dan lingkungan.
Transformasi ini idealnya tidak berhenti di dalam kampus, melainkan menjadi model kebijakan publik yang dapat direplikasi di kota dan komunitas sekitar. Ketika praktik ekonomi sirkular dari laboratorium kampus diadopsi oleh pemerintah daerah, maka terjadi sinergi antara sains, kebijakan, dan aksi nyata di lapangan. Inilah peran penting institusi pascasarjana, dimana tidak hanya menghasilkan pengetahuan, tetapi juga menerjemahkannya menjadi aksi dan kebijakan yang mendukung pencapaian tujuan SDGs secara nyata dan terukur. Kampus bukan hanya tempat belajar, tetapi juga laboratorium kehidupan yang mampu memberi solusi bagi masa depan yang berkelanjutan.
Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM