• UGM
  • SPs UGM
  • Library
  • IT Center
  • Webmail
  • Bahasa Indonesia
    • Bahasa Indonesia
    • English
Universitas Gadjah Mada Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Tentang Kami
    • Tentang Kami
    • Sejarah
    • Visi, Misi dan Tujuan
      • Program Magister
      • Program Doktor
    • Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan
      • Tenaga Pendidik Program Magister
      • Tenaga Pendidik Program Doktor
      • Tenaga Kependidikan
    • Fasilitas
    • Laboratorium
    • Penerimaan Mahasiswa Baru
      • Prosedur Pendaftaran
      • Syarat Pendaftaran
      • Biaya Pendidikan
    • Rekognisi Akademis
  • Akademik
    • Program Magister
      • Profil Lulusan Program Magister
      • Capaian Pembelajaran Lulusan
      • Peta Kurikulum
      • Mata Kuliah
      • Modul Pegangan Mata Kuliah
      • Seminar Proposal
      • Ujian Komprehensif
      • Seminar Hasil
      • Ujian Tesis
    • Program Doktor
      • Profil Lulusan
      • Capaian Pembelajaran Lulusan
      • Peta Kurikulum
      • Mata Kuliah
      • Modul Pegangan Mata Kuliah
      • Seminar Proposal
      • Ujian Komprehensif
      • Seminar Hasil
      • Ujian Disertasi
    • Kalender Akademik
    • Panduan Akademik
    • Perpustakaan
    • ELOK (e-Learning: Open for Knowledge Sharing)
    • SIMASTER
  • Penelitian
    • Publikasi
    • Kelompok Penelitian
  • Pengabdian
    • Pengabdian kepada Masyarakat
  • Kemahasiswaan & Alumni
    • Prestasi Mahasiswa
    • Informasi Beasiswa
    • Alumni
    • KAGAMA
    • Lowongan Pekerjaan
    • Tracer Study
  • Kontak
  • Unduh
    • Dokumen Akreditasi S2
    • Dokumen Akreditasi S3
  • Beranda
  • Berita
  • Dari Stigma ke Strategi: Orang Tua, Pesantren, dan Komunikasi Pembangunan Menuju SDGs Pendidikan Berkualitas

Dari Stigma ke Strategi: Orang Tua, Pesantren, dan Komunikasi Pembangunan Menuju SDGs Pendidikan Berkualitas

  • Berita, Howdy SDGs!
  • 29 Agustus 2025, 10.31
  • Oleh: pkp.pasca
  • 0

Pesantren masih menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat untuk memondokkan anak mereka belajar ilmu agama. Di tengah gempuran pemberitaan negatif mengenai pesantren di media, ternyata jumlah santri di Indonesia terus mengalami peningkatan. Tentu ini menjadi pertanyaan yang harus kita jawab, apakah pesantren masih relevan sebagai tempat pendidikan yang berkualitas di Indonesia? Isu kekerasan baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan seksual sering muncul di media massa dan juga media sosial. Berdasarkan data dari Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) pada tahun 2024, sebanyak 36 persen atau 206 kasus kekerasan di lembaga pendidikan terjadi di lembaga pendidikan berbasis agama. Dimana 16 persen atau 92 kasus terjadi di madrasah dan 20 persen atau 114 kasus terjadi di pesantren. Jenis kekerasan yang terjadi bervariasi diantaranya kekerasan fisik, perundungan, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan kebijakan diskriminatif. Tingginya tingkat kekerasan di pesantren ternyata tidak menyurutkan masyarakat untuk memondokkan anak mereka di pesantren (Jannah, 2024). Data dari Education Management Information System (EMIS) Kementerian Agama Republik Indonesia menunjukkan bahwa jumlah santri di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2023/2024 ke tahun 2024/2025 yaitu sebanyak 5,8 persen atau 512.029 santri. Jumlah santri pada tahun 2023/2024 di Indonesia tercatat sebanyak 8.837.160 santri, sedangkan pada tahun 2024/2025 jumlah santri meningkat menjadi 9.349.189 (Said, 2025).

Peningkatan jumlah santri ini tentu menjadi sesuatu yang menarik untuk dianalisis dan didiskusikan. Penulis sempat melakukan wawancara dengan orang tua santri yang memondokkan anak mereka di pesantren. Ada beberapa alasan kenapa masyarakat percaya memondokkan anaknya di pesantren. Pertama, pesantren mampu mengajarkan ilmu agama kepada anak mereka. Ilmu agama di pesantren diajarkan lebih mendalam yang tidak didapatkan di sekolah umum. Kedua, pendidikan di pesantren mampu mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Pendidikan di pesantren tidak hanya mendalami ilmu agama saja. Saat ini sudah banyak pesantren yang menjalankan kurikulum dengan mengintegrasikan antara ilmu agama dengan ilmu umum. Integrasi ini sangat bagus karena memadukan antara iman dan taqwa (IMTAQ) dan ilmu pengetahuan teknologi (IPTEK). Tentu ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang keempat (SDGs 4) yaitu pendidikan berkualitas. Ketiga, pendidikan di pesantren mampu mengubah karakter anak menjadi lebih baik. Anak menjadi lebih taat dalam beribadah. Anak juga menjadi lebih disiplin dan mandiri. Perubahan karakter anak menjadi lebih baik ini yang menjadikan pesantren sebagai pilihan orang tua menyekolahkan anak mereka di pesantren. Keempat, pendidikan di pesantren menjadikan anak memiliki banyak teman dan relasi di kemudian hari. Pesantren adalah tempat berkumpulnya seluruh santri dari berbagai daerah yang hendak mendalami ilmu agama. Sehingga pada saat mereka lulus nanti networking terjalin di antara para alumninya. Kelima, ketidakmampuan orang tua mengajarkan ilmu agama dengan baik kepada anak menjadi salah satu alasan memondokkan anak di pesantren. Pesantren dianggap memiliki kemampuan untuk memberikan pendidikan ilmu agama yang lebih baik kepada anak. Keenam, adanya tradisi keluarga. Orang tua santri yang pernah mondok memiliki harapan agar anaknya juga bisa meneruskan tradisi tersebut. Orang tua berharap anaknya juga belajar di pesantren seperti orang tuanya.

Lantas bagaimana dengan maraknya pemberitaan dan informasi yang masif di media massa dan media sosial tentang kekerasan yang terjadi pesantren. Bagi orang tua santri informasi tersebut sempat membuat orang tua santri khawatir. Akan tetapi, orang tua santri mencoba mengendalikan disonansi kognitif yang muncul karena informasi tersebut. Pertama, lebih selektif dalam memilih pesantren. Caranya dengan mengunjungi pesantren secara langsung dan mencari tahu informasi tentang pesantren yang akan dijadikan tempat mencari ilmu buah hati. Melalui cara tersebut, kekhawatiran yang awalnya muncul menjadi terkikis dan hilang secara perlahan. Kedua, kekerasan yang terjadi di pesantren adalah kasuistik saja. Tidak semua pesantren terjadi tindakan kekerasan. Selektif dalam memilih pesantren sangat penting. Kekerasan yang terjadi di luar pesantren lebih masif. Bahkan data dari JPPI kekerasan yang terjadi di lembaga pendidikan non pesantren lebih banyak dibandingkan yang terjadi di madrasah dan pesantren. Ketiga, adanya komunikasi positif yang dilakukan oleh pesantren baik itu melalui website maupun media sosial. Keunggulan pengelolaan pesantren, kurikulum pesantren, kepemimpinan kyai, pengasuh, pengajar, dan juga fasilitas yang dimiliki oleh pesantren menjadi pertimbangan orang tua memilih pesantren sebagai tempat menimba ilmu buah hatinya. Keempat, informasi yang diperoleh dari alumni atau teman sejawat yang pernah memondokkan anak di pesantren. Testimoni dari alumni dan juga teman sejawat yang pernah memondokkan anak di pesantren sangat penting dalam pengambilan keputusan orang tua memondokkan anak di pesantren.

Kekhawatiran masyarakat dalam memondokkan anak di pesantren harus segera diatasi. Hal ini sangat penting agar pendidikan yang berlangsung di pesantren harus tetap terjaga dengan baik. Pendidikan di pesantren menjadi salah satu pilar pembangunan keberlanjutan yang tertuang dalam SDGs yang keempat yaitu pendidikan berkualitas. Pendidikan yang berlangsung di pesantren mampu memberikan kontribusi pembangunan di masyarakat. Kontribusi yang diberikan pesantren melalui mutu pendidikan yang baik (Latifah, 2020), pengembangan masyarakat (Malisi & Mohad, 2024), pemberdayaan baik dibidang sosial maupun ekonomi (Sulaiman & Ahmadi, 2020), dan juga pelestarian budaya (Musnandar & Alzitawi, 2024). Pesantren juga mampu memberikan kematangan mental dan emosional kepada santrinya. Hal ini penting karena dalam rangka mempersiapkan generasi muda menuju Indonesia Emas 2045.

Upaya meyakinkan masyarakat agar tidak khawatir memondokkan anak di pesantren harus melibatkan berbagai unsur. Kolaborasi beberapa unsur tersebut sangat penting dalam membangun kredibilitas, citra positif, dan kepercayaan yang lebih baik lagi dari masyarakat kepada pesantren. Unsur yang pertama adalah pemerintah. Pemerintah saat ini memiliki regulasi pengasuhan ramah anak di pesantren dalam rangka mencegah terjadinya kekerasan kepada santri melalui keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia No 1262 Tahun 2024 (Jannah, 2024a). Unsur berikutnya yaitu pesantren dengan memberikan fasilitas, kurikulum, pengajar yang kompeten, dan tata kelola yang baik. Unsur selanjutnya melalui media. Narasi dan komunikasi positif yang dilakukan pesantren melalui media massa, website, maupun media sosial sangat penting dilakukan. Strategi komunikasi yang baik menjadikan citra positif pesantren tetap terjaga di tengah pemberitaan negatif tentang pesantren. Menampilkan prestasi alumni penting dilakukan dalam rangka membangun trust kepada masyarakat. Selain itu, komunikasi dua arah harus sering dilakukan oleh pesantren sehingga terjadi keseimbangan informasi di masyarakat. Melalui kolaborasi beberapa unsur tersebut, penulis yakin bahwa kekhawatiran masyarakat dalam memondokkan anak di pesantren dapat teratasi. Pembangunan berkelanjutan melalui pendidikan berkualitas di pesantren juga dapat terwujud. Impian bangsa Indonesia memiliki generasi emas bukan lagi hisapan jempol dan dapat terwujud sebelum tahun 2045.

 

Penulis: Teddy Dyatmika (Mahasiswa Program Doktor S3 Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada)
Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM

Tags: Pascasarjana UGM Penyuluhan dan Komunikasi Pembangunan SDGs sdgs 10: mengurangi ketimpangan SDGs 4: Education SDGs 4: Pendidikan Bermutu

Tinggalkan Komentar Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

*

Universitas Gadjah Mada

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA
Jl. Teknika Utara, Pogung Yogyakarta – 5581
Telp : (0274) 544975, 564239 Fax : (0274) 547861, 564239
  pkp.pasca@ugm.ac.id
  @pkp.pasca.ugm
  +628112630752

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY