Perdagangan pakaian impor, khususnya pakaian bekas, telah menjadi bagian signifikan dari dinamika ekonomi global dan pola konsumsi masyarakat di negara berkembang. Pakaian bekas impor umumnya berasal dari proses donasi massal, pusat daur ulang tekstil, toko retail yang menyisakan deadstock, serta gudang penyalur barang non sortir dari negara-negara maju. Dalam rantai distribusi yang panjang ini, pakaian dikumpulkan dari berbagai sumber, disortir berdasarkan kualitas, kemudian dikompresi menjadi bal-bal besar sebelum dikirim ke negara tujuan. Kompleksitas rantai pasok tersebut menyebabkan asal-usul setiap pakaian sulit dilacak secara individual, sehingga aspek higienitas dan keamanan produk menjadi isu yang perlu dikaji secara ilmiah.
Meskipun terdapat kekhawatiran publik bahwa pakaian bekas impor mungkin pernah dimiliki oleh individu dengan kondisi kesehatan tertentu, kajian epidemiologi menunjukkan bahwa risiko penularan penyakit melalui media pakaian relatif rendah. Sebagian besar patogen penyebab penyakit menular tidak mampu bertahan lama pada permukaan tekstil, terlebih setelah melalui proses penyimpanan, pengiriman antarnegara, dan perubahan suhu yang signifikan. Namun, risiko kesehatan tidak sepenuhnya dapat diabaikan. Beberapa penelitian menemukan potensi keberadaan kontaminan biologis seperti bakteri lingkungan, jamur, maupun tungau, serta kontaminan kimia berupa residu deterjen, pewangi, atau zat pewarna yang dapat menimbulkan reaksi alergi maupun iritasi pada kulit. Oleh karena itu, isu higienitas pakaian impor lebih tepat dipahami sebagai fenomena yang memerlukan mitigasi daripada sebagai ancaman epidemiologis langsung.
Dalam perspektif Sustainable Development Goals (SDGs), fenomena pakaian impor bekas memunculkan implikasi multidimensional. Secara positif, kegiatan ini dapat mendukung SDG 12 (Konsumsi dan Produksi yang Bertanggung Jawab) melalui pemanfaatan kembali tekstil yang berpotensi menjadi limbah di negara asal. Selain itu, akses pakaian berkualitas dengan harga rendah dapat membantu kelompok masyarakat berpendapatan rendah, sehingga berkaitan dengan SDG 1 (Pengentasan Kemiskinan). Namun, di sisi lain, jika tidak dikelola dengan baik, masuknya pakaian bekas impor dapat memunculkan risiko lingkungan berupa peningkatan timbunan limbah tekstil di negara tujuan. Selain itu, lemahnya pengawasan kualitas dapat berdampak pada kesehatan masyarakat, sehingga menghambat pencapaian SDG 3 (Kesehatan dan Kesejahteraan). Dampak terhadap industri tekstil lokal juga perlu diperhatikan karena kompetisi harga yang tidak seimbang dapat melemahkan pertumbuhan industri domestik yang mendukung SDG 9 (Industri, Inovasi, dan Infrastruktur).

Upaya mitigasi risiko dapat dilakukan melalui pendekatan multi-level yang melibatkan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah. Konsumen dapat menerapkan prosedur higienitas dasar, seperti mencuci pakaian dengan deterjen dan air panas, menjemur di bawah paparan sinar matahari, atau melakukan desinfeksi melalui steaming. Pelaku usaha memiliki tanggung jawab untuk memastikan penyimpanan yang bersih dan proses pra penjualan yang memadai. Sementara itu, pemerintah dapat memperkuat standar kualitas barang impor, mengawasi potensi masuknya limbah tekstil terselubung, serta mendorong penerapan standar sanitasi pada pakaian bekas yang beredar di pasar domestik. Pendekatan regulatif ini tidak bertujuan membatasi akses masyarakat terhadap pakaian impor, melainkan memastikan bahwa perdagangan tersebut berlangsung dalam kerangka keberlanjutan dan keamanan.
Secara keseluruhan, perdagangan pakaian impor bekas merupakan fenomena ekonomi dan sosial yang tidak dapat dilepaskan dari dinamika globalisasi dan perubahan pola konsumsi masyarakat. Melalui penguatan pengawasan, peningkatan kesadaran konsumen, serta penerapan prinsip keberlanjutan, perdagangan pakaian impor dapat tetap memberikan manfaat ekonomi tanpa mengabaikan aspek kesehatan dan lingkungan. Dengan demikian, praktik ini dapat dijalankan selaras dengan tujuan-tujuan pembangunan berkelanjutan yang diusung oleh SDGs.
Penulis dan Reviewer: Tim Prodi PKP Pascasarjana UGM